Kamis, 05 Juli 2018

Teras Sastra - Pejuang Literasi


Image result for gambar kartun pejuang literasi sastra
Pejuang Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Oleh : Chika Ardeviya Rista

Hembusan angin melambaikan daun yang saling bersentuhan. Saling menyapa disetiap cuaca. Suasana senja di kampung ini begitu kental akan adat dan budaya. Purnama yang masih malu-malu tuk menyapa senja, kini ditinggalkan sang surya di ufuk barat sana. Rayuanya mampu menggoda orang tuk memejamkan mata dan melalaikan fardhunya. Terlihat disetiap pojokan rumah tergeletak secangkir kopi hitam dan sepiring bunga yang mulai gugur dari tangkainya. Semerbak harumnya tercium hingga keluar rumah. Aroma ini sering aku rasakan jikalau salah satu anggota keluarga telah tiada. Ada keganjalan yang ingin aku luruskan untuk keluargaku. Namun apa daya ku yang masih anak ingusan ini, jika berkata pastilah akan tertampar juga.

Sekiranya itulah yang aku rasakan dikeluargaku. Terutama tradisi yang masih dijaga kental oleh nenekku. Sang Illahi tak pernah mengajarkan hal seperti itu kepada umatnya. Aku ingin menemukan hal yang membuatku mampu berkata bahwa itu salah. Namun setiap perkatan tentu harus ada landasannya ialah ilmu. Aku yang akrab disapa Fariq telah dikenal sebagai sosok putra yang lugu dan alim dari sekian banyak cucu laki - laki nenekku. Aku hanya bisa diam saja saat melihat neneku melakukan serangkainan sesajen sebagai peringatan 1000 hari almarhumah kakekku. Kawan – kawan disekelilingku juga berisikan anak brandal yang terbiasa akan dunia kelam. Semua kejadian itu membuat tekadku yang bulat hingga mengantarkanku pada sebuah Pondok Pesantren di kota pelajar. Mengapa aku memilih di kota pelajar ?. Ya , karena disinilah tempat yang kaya akan ilmu dan perguruan tinggi.  Dalam pikiranku hanya ada kata “Jika aku berilmu maka orang akan percaya padaku dan tak menganggapku angin lalu. ”

Tiupan angin tengah melewati batas senja yang terus berjalan melewati bulan dan bergulir menghitung tahun. Tak terasa sudah 3 tahun aku mencari ilmu dan mengabdikan diri di tanah rantau ini. Kurasa bekal ilmu selama 3 tahun di pondok membuatku mampu menghadapi kerasnya dunia. Usiaku kini memang baru 16 tahun dan beranjak ku tinggalkan tanah rantau tuk bergegas mengabdi pada tanah kelahiran. Keluar dari penjara suci (pondok) nyatanya membawa beban yang berat bagiku. Suasana religi sudah jarang ku temui di sekelilingku. Jangan sampai pondasi yang sudahku cor dengan semen dan besi mampu terkikis dengan air hujan yang menderai.  

Masa muda memang masa dimana kita mudah terlena akan dunia. Namun bagaimana diri ini agar tetap kokoh berdiri dengan landasan islami. Ku mulai menata asa di tanah tercinta dengan bersekolah disalah satu amal usaha milik Muhammadiyah. Entah mengapa aku memilihnya padahal aku mampu masuk di sekolah negeri terfavorit di kotaku. Dari sinilah awal langkah kaki ini akan dimulai. Pribadiku yang mudah bergaul tak membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi di tempat baru. Namun di lingkungan inilah sikap dewasa, iman serta takwaku diuji. Lingkungan disini perlu adanya sosok pembaharu yang membawa mereka pada cahaya terang dari kegelapan. Sebelumnya aku sudah mengenal mereka yang hobi merokok, berjudi, berpacaran bahkan mencuri. Ya , karena mereka adalah teman putih merahku dulu. Bahkan kelasku terkenal akan pencetak anak brandal kelas kakap.

“Riq, mau kemana kau? Sinilah main kartu dulu sambil ngopi – ngopi dululah ” tawaran Ardi yang sering kali menawarkan padaku namun selalu gagal melumpuhkan imanku. “Oh iya mangga atuh, abdi teh lagi batuk .(ugh..ugh) jadi susah klo mau ngrokok, cuaca sekarang teh lagi pancaroba sep, klo kita ngrokok tambah sakit kan.” Jawabanku hanya singkat namun padat. Tak ada rasa penolakan secara kasar maupun ajakan secara memaksa. Saat mereka mencoba mempengaruhiku justru itulah awal jalan dakwahku. Aku tak pernah memarahi mereka apalagi mengeluarkan segudang dalil maupun hadis yang sudah ku kuasai. Aku tak ingin mereka menganggap aku menggurui ataupun sok suci. Aku bahkan ikut duduk mendampingi mereka, memberikan nasihat secara perlahan. Karena anak – anak seperti mereka jangan pernah dipukul saat berdakwah melainkan dirangkul untuk menyadarkannya. Mereka hanya membutuhkan penjelasan sesuai dengan logika bukan hanya lewat dalil semata.

Mereka yang sudah mulai menerima kehadiranku, membuatku mudah terjun ke dunianya yang kelam dan merangkul menuju cahaya yang terang. Gaya berpakaianku saat bersama merekapun hanya celana sobek dan kaos oblong. Jauh berbeda saat aku ceramah di masjid maupun bertausiyah. Setiap hari sepulang sekolah ada saja kelakuan nakal mereka. Mulai dari membolos, merokok di kantin dan main kartu di kelas. Aku tak pernah langsung menuduh ataupun memaki mereka. Karena kita berdakwah harus merangkul jangan memukul. Kalau mereka ingin mengikuti kita, maka kita harus mengikuti mereka terlebih dahulu. Mencari celah dakwah itulah senjata utama agar dakwah kita kena dan membuat mereka terlena akan islam rahmatan lil ‘alamin.

Dakwah zaman now

Dakwah itu …

Merangkul bukan memukul

Membina bukan menghina

Mengajar bukan menghajar

Mencintai bukan mencaci

Mempelopori bukan mempelakori

            Karena islam bukan milik orang alim

Karena islam bukan milik orang zalim

Karena Islam Rahmatan lil ‘alamin







~ Pejuang Amar ma’ruf Nahi Munkar ~
terinspirasi dari Ustaz Evi Efendi

Review Jurnal

REVIEW 2 ARTIKEL JURNAL TEORI KEBUDAYAAN Disusun oleh : Ch...