Pejuang
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Oleh
: Chika Ardeviya Rista
Hembusan
angin melambaikan daun yang saling bersentuhan. Saling menyapa disetiap cuaca.
Suasana senja di kampung ini begitu kental akan adat dan budaya. Purnama yang
masih malu-malu tuk menyapa senja, kini ditinggalkan sang surya di ufuk barat
sana. Rayuanya mampu menggoda orang tuk memejamkan mata dan melalaikan
fardhunya. Terlihat disetiap pojokan rumah tergeletak secangkir kopi hitam dan
sepiring bunga yang mulai gugur dari tangkainya. Semerbak harumnya tercium
hingga keluar rumah. Aroma ini sering aku rasakan jikalau salah satu anggota
keluarga telah tiada. Ada keganjalan yang ingin aku luruskan untuk keluargaku.
Namun apa daya ku yang masih anak ingusan ini, jika berkata pastilah akan
tertampar juga.
Sekiranya
itulah yang aku rasakan dikeluargaku. Terutama tradisi yang masih dijaga kental
oleh nenekku. Sang Illahi tak pernah mengajarkan hal seperti itu kepada
umatnya. Aku ingin menemukan hal yang membuatku mampu berkata bahwa itu salah.
Namun setiap perkatan tentu harus ada landasannya ialah ilmu. Aku yang akrab
disapa Fariq telah dikenal sebagai sosok putra yang lugu dan alim dari sekian
banyak cucu laki - laki nenekku. Aku hanya bisa diam saja saat melihat neneku
melakukan serangkainan sesajen sebagai peringatan 1000 hari almarhumah kakekku.
Kawan – kawan disekelilingku juga berisikan anak brandal yang terbiasa akan
dunia kelam. Semua kejadian itu membuat tekadku yang bulat hingga mengantarkanku
pada sebuah Pondok Pesantren di kota pelajar. Mengapa aku memilih di kota
pelajar ?. Ya , karena disinilah tempat yang kaya akan ilmu dan perguruan
tinggi. Dalam pikiranku hanya ada kata “Jika
aku berilmu maka orang akan percaya padaku dan tak menganggapku angin lalu. ”
Tiupan
angin tengah melewati batas senja yang terus berjalan melewati bulan dan bergulir
menghitung tahun. Tak terasa sudah 3 tahun aku mencari ilmu dan mengabdikan
diri di tanah rantau ini. Kurasa bekal ilmu selama 3 tahun di pondok membuatku
mampu menghadapi kerasnya dunia. Usiaku kini memang baru 16 tahun dan beranjak
ku tinggalkan tanah rantau tuk bergegas mengabdi pada tanah kelahiran. Keluar
dari penjara suci (pondok) nyatanya membawa beban yang berat bagiku.
Suasana religi sudah jarang ku temui di sekelilingku. Jangan sampai pondasi
yang sudahku cor dengan semen dan besi mampu terkikis dengan air hujan yang
menderai.
Masa muda memang masa dimana kita mudah terlena akan dunia. Namun
bagaimana diri ini agar tetap kokoh berdiri dengan landasan islami. Ku mulai
menata asa di tanah tercinta dengan bersekolah disalah satu amal usaha milik
Muhammadiyah. Entah mengapa aku memilihnya padahal aku mampu masuk di sekolah
negeri terfavorit di kotaku. Dari sinilah awal langkah kaki ini akan dimulai.
Pribadiku yang mudah bergaul tak membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi
di tempat baru. Namun di lingkungan inilah sikap dewasa, iman serta takwaku
diuji. Lingkungan disini perlu adanya sosok pembaharu yang membawa mereka pada
cahaya terang dari kegelapan. Sebelumnya aku sudah mengenal mereka yang hobi
merokok, berjudi, berpacaran bahkan mencuri. Ya , karena mereka adalah teman
putih merahku dulu. Bahkan kelasku terkenal akan pencetak anak brandal kelas
kakap.
“Riq, mau kemana kau? Sinilah main kartu dulu sambil ngopi – ngopi
dululah ” tawaran Ardi yang sering kali menawarkan padaku namun selalu gagal
melumpuhkan imanku. “Oh iya mangga atuh, abdi teh lagi batuk .(ugh..ugh)
jadi susah klo mau ngrokok, cuaca sekarang teh lagi pancaroba sep, klo kita
ngrokok tambah sakit kan.” Jawabanku hanya singkat namun padat. Tak ada rasa
penolakan secara kasar maupun ajakan secara memaksa. Saat mereka mencoba
mempengaruhiku justru itulah awal jalan dakwahku. Aku tak pernah memarahi
mereka apalagi mengeluarkan segudang dalil maupun hadis yang sudah ku kuasai.
Aku tak ingin mereka menganggap aku menggurui ataupun sok suci. Aku bahkan ikut
duduk mendampingi mereka, memberikan nasihat secara perlahan. Karena anak –
anak seperti mereka jangan pernah dipukul saat berdakwah melainkan dirangkul
untuk menyadarkannya. Mereka hanya membutuhkan penjelasan sesuai dengan logika
bukan hanya lewat dalil semata.
Mereka yang sudah mulai menerima kehadiranku, membuatku mudah
terjun ke dunianya yang kelam dan merangkul menuju cahaya yang terang. Gaya
berpakaianku saat bersama merekapun hanya celana sobek dan kaos oblong. Jauh
berbeda saat aku ceramah di masjid maupun bertausiyah. Setiap hari sepulang
sekolah ada saja kelakuan nakal mereka. Mulai dari membolos, merokok di kantin
dan main kartu di kelas. Aku tak pernah langsung menuduh ataupun memaki mereka.
Karena kita berdakwah harus merangkul jangan memukul. Kalau mereka ingin
mengikuti kita, maka kita harus mengikuti mereka terlebih dahulu. Mencari celah
dakwah itulah senjata utama agar dakwah kita kena dan membuat mereka terlena
akan islam rahmatan lil ‘alamin.
Dakwah zaman now
Dakwah itu …
Merangkul bukan memukul
Membina bukan menghina
Mengajar bukan menghajar
Mencintai bukan mencaci
Mempelopori bukan mempelakori
Karena islam bukan
milik orang alim
Karena islam bukan milik orang zalim
Karena Islam Rahmatan lil ‘alamin
~ Pejuang Amar ma’ruf Nahi Munkar ~
terinspirasi dari Ustaz Evi Efendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar