Rabu, 31 Oktober 2018

Sastra Populer Indonesia

Sejarah Sastra Popular Indonesia




Disusun oleh :
        Chika Ardeviya Rista / 1711025038
Mata Kuliah                : Sastra Populer
Dosen Pengampu        : Tristanti Apriyani, S.S.,M.Hum.






Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan
2018/2019

A.    Pengertian Sastra

Sastra berasal dari kata Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sedangkan karya sastra adalah segenap cipta sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, disertai adanya nafas dan roh keindonesiaan, serta mengandung aspirasi dan kultur indonesia. Sejarah sastra termasuk dalam aspek disiplin ilmu sastra lainnya seperti teori sastra dan kritik sastra. Ilmu sastra adalah segenap perbincangan mengenai kesusastraan yang diteropong dari sudut keimuan, dengan penalaran ilmiah, metodologis, sistematika lengkap dengan bukti-bukti empiris.
            Sebuah ilmu sastra diawali dari sebuah teori sastra yaitu bagian dari ilmu sastra yang menjelaskan secara rinci tata istilah kesusastraan serta bermacam-macam pembagian karya sastra. Pembagiannya dapat dilihat dari bentuknya, genre, isinya dan sifatnya. Sebuah teori berisikan rumusan yang ilmiah, sistematis dan metodologis. Dimana sebuah teori dapat dihasilkan dengan adanya karya sastra yang kemudian ditelaah dengan cara membaca intensif, ekstensif, kritis dan apresiatif karya sastra.
Setelah adanya teori-teori sastra serta kumpulan karya sastra maka muculah sebuah sejarah sastra. Di dalam sejarah sastra menjelaskan tentang periodisasi sastra, nama-nama angkatan dalam kesusastraan, sastrawan – sastrawati disetiap angkatan, karya-karya sari setiap angkatan, pertumbuhan dan perkembangan sastra dari setiap periodenya. Pada sejarah sastra juga membahas mengenai aliran-aliran sastra seperti : naturalism, realism, surealisme, romantisme, dan lain- lain.
Sementara itu kritik sastra adalah suatu disiplin ilmu sastra yang khusus mengkaji kualitas karya sastra dan merupakan studi/kajian terhadap karya sastra yang ada, sehingga keberadaan ilmu ini memiliki ketergantungan dengan jumlah hasil karya sastra pada setiap periodenya. Tetapi bukan berarti kritik sastra berperan hanya ketika banyak hasil karya sastra saja. Justru kritik sastra ini digunakan oleh para penulis sebagai pacuan agar sastrawan dapat meningkatkan kualitas karya penulis sehingga mampu menghasilkan karya yang kreatif dan lebih bagus lagi.
Dari ketiga disiplin ilmu sastra tersebut sangat berkaitan dan tidak dapat saling dipisahkan. Seperti kaitannya teori sastra dengan sejarah sastra yang memberikan pengertian terminology istilah angkatan dan periode sebagai dasar pembabakan sastra disetiap angkatan. Kemudian kritik sastra dapat dibantu oleh teori sastra, sebab dalam menelaah sebuah karya sastra membutuhkan pengertian-pengertian sastra yang berkualitas. Sejarah sastra juga memberikan sumbangsih kepada teori sastra. Dari sejarah sastra kita dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan genre sastra. Sehingga dapat diteliti berbagai aspek seperti diksinya, baris dan bait, serta unsur- unsur entrisik maupun irtrinsik dari angkatan sastra tersebut. Antar ketiganya, ada yang saling mempertautkan, saling mengisi dan saling melengkapi sebagi respon terhadap karya sastra. 
Sejarah sastra Indonesia dibagi menjadi dua masa yaitu masa kelahiran dan masa perkembangan. Dimana masak kelahiran terdiri dari angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan kesusastraan pada masa jepang. Sedangnkan masa perkembangan dimulai dari angkatan 45, Angkatam 66, Angkatan 70-an, Angkatan 80-an, Angkatan 90-an,Angkatan 2000-an dan awal abad XXI.


B.     Pemahaman Tentang Sastra Populer
Setelah mengetahui pengertian sastra itu sendiri, sekarang pemahaman mengenai perbedaan antara sastra popular dengan sastra serius menjadi hal pokok yang wajib diketahui. Dalam dunia sastra terdapat dua kutub yang saling bersaing, yaitu kutub sastra serius dan sastra populer. Sastra populer  menurut Bourdieu (dalam buku Language and Symbolic Power, 1991) merupakan sastra yang dihasilkan oleh kaum borjuis (pedagang, pengusaha),  sedangkan sastra serius merupakan sastra yang dihasilkan oleh kaum  bohemian (para ilmuan ahi imu pengetahuan). Dalam kaitannya dengan sastra populer, Lowenthal (Damono, 1979: 85-88) memerikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan ciri-ciri sastra populer antara lain sebagai berikut :
1.      Mementingkan konsumen dan persoalan distribusinya
2.      Menekankan segi hiburan penerimaan khalayak ramai
3.      Bersifat nonmuseum
4.      Mengandalkan media massa
5.      Berbentuk barang komersial, dan
6.      Dalam hal ukuran seni, sastra populer lebih menekankan segi psikologis, yang dikaitkan dengan kondisi sosial, politik, dan teknologi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan.

Media massa, seperti surat kabar dan majalah, berperan penting  dalam penyebaran sastra populer. Sebagai produk dari budaya populer, antara media massa dan sastra populer muncul beriringan. Bahkan perkembangan sastra populer sejalan dengan maraknya penerbitan koran dan majalah umum di kota-kota besar di Indonesia yang memuat rubrik sastra dan budaya. Surat kabar  yang sampai sekarang (2016) memberi kolom untuk ruang sastra dan budaya antara lain  Kompas, Suara Karya, dan Republika (di Jakarta), Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar (di Bandung), Suara Merdeka, Wawasan, mingguan Cempaka (di Semarang), Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Harian Jogja (di Yogyakarta), Jawa Pos (di Surabaya), Radar Malang dan Surya Pos (di Malang).
           Pada umumnya surat kabar tersebut memberi ruang pada satu pekan sekali. Adapun genre sastra yang tampil di media massa tersebut adalah sajak, cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), bahkan kritik/esai sastra. Dari media harian terlahir penulis-penulis seperti Abdul Wachid B.S, Abidah el-Khalieqy, Ahmadun Yosi Herfanda, Helvy Tiana Rosa, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, dan lainnya (lihat Rampan, Angkatan 2000). Dalam hal ini patut dicatat, para penulis tersebut menggunakan media massa sebagai reproduksi dan distribusi karya-karyanya, tetapi tidak bermaksud untuk menjadikannya sebagai “sastra populer”, yang menggunakan formulasi sastra populer. Tidak sedikit di antara para penulis media massa tersebut dapat keluar dari “Kubangan karya populer” (Mahayana, 2000: 480) dan kemudian dikenal sebagai penulis ‘sastra serius’.
Perkembangan sastra populer  tidak terlepas dengan hadirnya beragam majalah wanita di era tahun 1970-an. Majalah wanita yang hadir dan berjaya saat itu seperti Gadis, Femina, Kartini, Sarinah (di Jakarta), juga muncul tabloid mingguan Nova (Jakarta) Cempaka (Semarang). Dari majalah-majalah tersebut muncul nama-nama penulis sastra wanita yang juga kemudian menulis novel seperti La Rose, Titik Maryati Mihardja, Ike Soepomo, Titie Said, Pipiet Senja dan sebagainya. Pada dekade 2000-an hadir pula majalah wanita yang bernafaskan keagamaan seperti Ummi, Paras, dan Muslimah (yang terakhir majalah terbitan Malaysia), juga terbit  kumpulan cerita pendek remaja seperti  Annida. Dari majalah ini penulis-penulis lama seperti Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia makin memiliki eksistensi, juga hadir para penulis baru seperti Izzatul Jannah, Terre Liye, Sinta Yudisia, Afifah Afra, dan yang lainnya.

Ditinjau dari sejarahnya, sastra populer di Indonesia mempunyai runtutan sejarah panjang, bahkan lebih panjang dari "sastra serius”. Perintis munculnya sastra populer Indonesia adalah warga Cina Peranakan dan warga Indo pada sekitar akhir abad ke-19 dengan menggunakan bahasa Melayu.
            Para warga Cina Peranakan menghasilkan karya sastra sebagai bentuk pencarian tradisi sastra sendiri setelah mereka gagal dari tradisi sastra nenek moyangnya sebagai akibat ketidakmampuan dalam penggunaan bahasa (Salmon, 1985 : 2) dan tidak dapat masuk ke dalam tradisi sastra tradisional Indonesia, yang juga sebagai akibat ketidakmampuan mereka menguasai bahasa daerah. Secara rinci, Sumardjo (1992 : 7-8) menyebutkkan tiga faktor penyebab tumbuh suburnya  sastra populer dengan menggunakan bahasa Melayu di kalangan masyarakat Cina Peranakan antara lain sebagai berikut :
a.       Ketercerabutan dari akar budaya nenek moyang, sehingga ada penyaduran dan penerjemahan karya-karya Cina ke dalam bahasa Melayu Rendah, bahasa yang mereka kuasai sejak lahir di Indonesia
b.      Adanya modal untuk percetakan, sehingga sastra dalam bahasa Melayu Rendah mudah didapat; dan
c.       Orientasi budaya mengarah ke Barat, masyarakat Tionghoa di Indonesia enggan menyerap budaya nenek moyangnya sendiri dan budaya tradisonal setempat, maka berorientasi kepada  kebudayaan Barat yang berkembang pesat di kota-­kota tempat mereka hidup dan berusaha.

            Sastra populer pun berkembang di kalangan warga indo-Belanda. Alasan warga Indo tertarik kepada pengembangan karya sastra dengan bahasa Melayu lebih bersifat politik etis (balas budi). Kegiatan ini dilakukan oleh para wartawan yang mulai sadar untuk menempatkan masyarakat di sekitar mereka sebagai bahan pembica­raan (Hartoko, 1979 : 4). Di samping itu, warga Indo ingin membangun tradisi sastra sendiri dan man­diri yang tidak terikat dan tergantung lagi kepada tradisi sastra Belanda dan tradisi sastra Daerah.
            Kedua golongan warga tersebut adalah kaum intelektual (pada umumnya wartawan) yang berkedudukan di kota, maka karya sastra yang mereka hasilkan adalah karya sastra sebagai produk budaya kota yang pada saat itu telah banyak dipengaruhi oleh budaya Barat, yang kemudian sebagai cikal bakal karya yang disebut sebagai karya sastra populer.
            Model sastra ini berkembang pesat setelah munculnya terbitan berbahasa Melayu dan Belanda. Pada tahun 1885 telah hadir 28 nama surat kabar  yang berbahasa Arab dan Jawa. Karya sastra populer berbahasa Melayu pertama lahir tahun 1884 dari tulisan Lie Kim Hok (1853 - 1912) berjudul Sobat Anak-anak. Sejak saat itu, lahirlah berbagai sastra populer yang sebagian besar merupakan saduran dari sastra populer Barat pada zaman itu seperti Rocambele, Monte Christo, Kapten Flamberge, juga beberapa saduran dari sastra silat Cina. Dari kalangan Indonesia lahir judul-­judul seperti Nona Leonie karya HFR Kommer, Nyai Isa oleh F. Wiggers, dan Nyai Dasima karya G. Francis, dan dari pengarang pribumi berpendidikan Barat muncul karya berjudul Rossina karya F.D.J. Pangemanann (orang Minahasa : 1870 - 1910). Kedua kelompok perin­tis sastra populer Indonesia tersebut memiliki perbe­daan dalam penggunaan 'bahasa' dan 'bahan cerita'. Kelompok warga Cina Peranakan memakai bahasa Melayu­-Cina, sedangkan kelompok warga Indo memakai bahasa Melayu-Rendah dan Melayu-Tinggi. Pada kelompok pertama bahan cerita diambil dari kehidupan kalangan masyarakat Tionghoa di kota, sedangkan pada kelompok kedua digali dari kehidupan masyarakat Indonesia secara umum di kota-kota. Persamaan pada keduanya adalah kedekatan cerita dengan masalah yang aktual di masyarakat dan bergaya sensasional dengan pemberian predikat "terjadi benar-benar" pada setiap judul yang diterbitkan (Sumardjo, 1991 : 172 - 173).
            Sastra populer yang dirintis kelompok Cina Peranakan mencapai zaman keemasan pada sekitar tahun 1925, setelah adanya terbitan berkala tiap bulan. Setiap bulan terbit satu atau dua karya sastra dengan tebal 80 halaman. Dalam hal bahan cerita juga terdapat perkembangan, tidak saja bercerita tentang masyarakat Tionghoa di kota, tetapi juga masyarakat Indonesia secara umum seperti tentang babu, petani, dan sejarah Indonesia. Sastra populer yang dirintis kelompok Indo dan pribumi berpendidikan Barat seakan berhenti, mereka mengalihkan perhatian kepada proses kreatif karya sastra yang lebih serius melalui Balai Pustaka.
            Pembaca sastra populer Melayu Cina ternyata bukan terbatas pada masyarakat Cina Peranakan, tetapi juga masyarakat Indonesia. Maka, muncul usaha memenu­hi kebutuhan masyarakat sendiri dengan sastra populer yang ditulis pengarang Indonesia sendiri. Dengan demikian, hadir dua kubu kelompok pengembang sastra populer, yaitu kelompok Cina Peranakan dengan bahasa Melayu-Cina dan kelompok sastrawan Medan dengan bahasa Melayu-Rendah.
            Kelompok sastrawan Medan, dalam hal bentuk dan aturan pencetakan, meniru gaya kelompok Cina‑Peranakan. Karya sastra berseri bulanan diterbitkan. Tebal halaman novel-novel populer tidak lebih dan tidak kurang dari 80 halaman dengan ukuran kecil; perhitungan ekonomis dengan 5 lembar kertas koran yang dijadikan 16 halaman pada tiap lembarnya. Bila cerita lebih panjang dari jumlah halaman yang dite­tapkan penerbit (80 halaman), maka diterbitkan dalam beberapa jilid, dan jika cerita lebih pendek dari jumlah halaman tersebut, maka ditambah 'bonus' berupa cerita pendek.
Bila sastra Cina-Peranakan dalam pengembangan sastra populernya bergeser dari sastra Cina kepada orientasi sastra Barat, maka sastra Medan berorientasi pada sastra Arab (Sumardjo, 1991 : 175). Maka, bermunculanlah karya sastra populer dari kedua kelompok itu yang berasal dari sastra Barat dan Arab. Karya sastra yang merupakan saduran dari sastra Barat, misalnya Sie Cay Kim dari La Dame aux Camelias, Setan dan Amur dari Kreutzer Sonata, Maen Komedi dari Graaf de Monte Cristo, dan sebagainya. Karya sastra populer yang merupakan saduran dari sastra Arab, seperti Cinta Yang Kudus merupakan saduran karya Jirji Zaidan.
Sastra Medan dalam beberapa hal masih terpe­ngaruh oleh sastra Cina peranakan, seperti penulisan cerita percintaan, cerita mitos (mythe), dan cerita sensasional yang bersifat fiktif. Model ini agak bergeser saat penulis muda kelompok ini, Jusuf Souyb, nenerbitkan cerita-cerita detektif seperti serial Elang Mas dan Pacar Merah. Penulis sastra Medan lain seperti A. Damhuri, Dali Mutiara, Merayu Sukma, Si Uma, dan Ratna Zet, banyak menggarap cerita tentang pertentangan golongan tua dan muda, tetapi pengga­rapannya kurang dalam dan kurang kompleks. Pembahasan bersifat klise, yaitu yang tua salah dan yang muda benar, watak tidak berkembang, mengabaikan faktor ilmu jiwa, dan cenderung pada penggambaran hitam putih. Oleh karena itu, karya sastra ini akhirnya mengarah pada hal-hal pornografi yang sering mendatangkan banyak protes dari masyarakat (Sumardjo, 1991 : 174). Berbeda dengan sastra Cina-Peranakan, walaupun beberapa karya sastra bersifat pornografi, seperti Jadi Korbannya Nafsu dan Bunga Mawar Berduri karya Hauw San Liang, tetapi kecaman terhadap sastra kelom­pok ini lebih banyak tertuju pada sifat-sifat keke­jaman dan kriminalitasnya (Sumardjo, 1991 : 174).
Hal yang menarik dari perkembangan sastra populer di Indonesia adalah bahwa jenis sastra ini tidak pernah mengalami "krisis sastra". Jenis sastra populer ini selalu terbit tanpa mengalami masa senggang. Sastra populer Indonesia mengalami kemandegan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan selama Revolusi Fisik (1945-1949). Perjalanan sastra populer, terutama sastra Medan, bergerak kembali mulai tahun 1950. Adapun sastra Cina Peranakan, secara formal, telah berhenti karena masyarakat Cina telah diintegrasikan dengan penduduk pribumi dalam hal bahasa, pendidikan, dan bahan bacaan.
Satu-satunya sastra Cina Peranakan yang masih hidup adalah cerita silat yang dikembangkan Asmaraman S. Kho Ping Hoo, Gan KL, dan sebagainya. Model cerita silat bahkan pada awal tahun 60-an, menguasai pembaca sastra populer Indonesia. Hal ini disebabkan faktor politik, yaitu dengan ditetapkannya Keputusan Presiden tentang 'demokrasi terpimpin' yang menghentikan semua lektur Barat, terutama dalam karya seni musik dan film.
Hal yang menarik terjadi ketika zaman 'demo­krasi terpimpin' mulai berkibar megah, sastra popu­ler Indonesia justeru bersifat lektur sastra Barat 100% (Sumardjo, 1991 : 177). Segala sesuatu yang tidak dapat dinikmati melalui film, majalah, barang hasil  budaya Barat, ternyata dapat dipenuhi dengan penerbitan sastra populer Barat. Karya sastra populer berupa saduran- saduran dan terjemahan Barat, seperti cerita detektif, cerita western (petualangan), dan cerita perang dunia, dari pengarang Barat, seperti Earl Stanley Gardner, Agatha Cristie, George Simenon, dan Ellery Queen, membanjiri khasanah sastra populer Indonesia. Bahkan, tulisan Ian Flemming dalam seri James Bond telah dikenal pembaca Indonesia melalui sastra sebelum melalui film. Puncak dari penerbitan saduran dan terjemahan Barat tersebut terlihat pada penerbitan buku-buku seri "Rocket" Jakarta.
Setelah masa 'demokrasi terpimpin, atau Sumardjo (1991 : 177) memberi istilah sebagai masa 'tertentu dalam kebudayaan', masyarakat Indonesia dapat secara bebas menyaksikan berbagai basil budaya Barat melalui film di bioskop, menyebabkan ’mimpi-mimpi tentang kemajuan Barat' tidak lagi menjadi pusat perhatian. Maka ketika pada sekitar tahun 1967 Motinggo Busye mulai menerbitkan novel-novel dengan latar kehidupan golongan menengah dan elite di Jakarta, masyarakat segera menyambutnya. Masyarakat dengan antusias mengikuti penggambaran kebobrokan para kaum elite yang dikemukakan secara realistik (Sumardjo, 1991 : 178), misalnya pada novel Cross Mama, Cross Papa (1967). Dalam novel tersebut dan novel-novel Motinggo Busye berikutnya, penggambaran hubungan intim para tokoh cerita ditampilkan secara berani.
Model-model Motinggo ditiru oleh para epigonnya, hanya dalam penggambaran hubungan intim pelaku para epigonnya jatuh kepada penggambaran pornografi. Pada novel Motinggo Busye hubungan intim tersebut sebagai 'pelengkap' bagi cerita, sedangkan para epigonnya justeru menjadikannya sebagai 'tujuan’ cerita, seperti terlihat, pada novel tulisan Valentino (tahun 70-an), Enny Arrow (tahun 80-an), dan Susy Astika (tahun 90-an). Para epigon inilah yang kemudian menjerumuskan Motinggo Busye dalam tuduhan sebagai penulis novel porno (Sumardjo, 1991 : 178).
Gaya sastra populer Indonesia sejak masa perintisan sampai zaman Motinggo Busye, cenderung bersifat lelaki karena ditulis oleh kaum lelaki dan diarahkan kepada pembaca lelaki. Kondisi ini membuat kaum wanita merasa 'dilecehkan' karena pada sastra bersifat lelaki, pada umumnya, penggambaran wanita diposisikan sebagai  'objek pemuas nafsu syahwat lelaki’. Maka, pada tahun 1972 terjadi 'revolusi' hasil bacaan sastra populer setelah terbitnya novel dari pengarang wanita, Marga T, dalam judul Karmila, dengan tokoh protagonis wanita, dan bertemakan masalah wanita. Sejak itu munculah sastra populer yang bersifat 'wanita', baik yang ditulis pengarang wanita maupun ditulis oleh pengarang lelaki. Para pengarang wanita, misalnya La Rose menulis Wajah-wajah Cinta, Titiek WS menulis Sang Nyonya, dan Ike Soepomo menulis Kembang Padang Kelabu. Abidah El-Khaliqy mengarang Perempuan Berkalung Surban, Hanum Salsabiella Rais menghasilkan 99 Cahaya di Langit Eropah, dan sebagainya.
Para pengarang lelaki yang banyak menulis sastra populer bersifat, 'wanita' misalnya Eddy D. Iskandar menulis Semau Gue, Ashadi Siregar menulis Cintaku di Kampus Biru, dan Motinggo Busye menulis Puteri Seorang Jenderal. Pengarang terakhir ini merupakan perintis jejak sastra bersifat ‘wanita'. Dari tahun 1963 sampai 1983 tidak kurang dari lima puluh novel judul dihasilkan Motinggo Busye (Pramono, 1995), sebagian besar menempatkan tokoh wanita dan persoalan wanita sebagai persoalan utama, seperti dalam Perempuan itu bernama Barabah, Puteri Seorang Jenderal, Rendesvouz, Rindu Ibu adalah Rinduku, Fathimah Chen-Chen, Joke Tamomoan, dan sebagainya.



C.     Aliran – aliran karya sastra
Aliran sastra Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini.
1.      Aliran Romantisme
Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Tujuan dari aliran romantisme ini adalah mengajak pembaca, audiens, dan masyarakat agar dapat tertawa atau menangis sehingga mereka dapat menyatakan hidup ini berguna.
Contoh : puisi-puisi Amir Hamzah antara lain Buah Rindu,  Karena Kasihmu, Memuji Dikau,Mengawan dan Do’a.  
2.      Aliran Naturalisme
Aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. naturalisme juga melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat dan dirasa oleh pancaindra. Tujuannya adalah mengungkapkan sesuatu seobjektif mungkin tanpa pretense dan tanpa prasangka. Contohnya yaitu kumpulan sajak F. Rahardi seperti “ Catatan Harian Sang Koruptor dan “ Sumpah WTS, beberapa sajak Rendra “ Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta “, “ Rick dari Corona “, “ Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA “ bisa ditunjuk sebagai contoh pengibar aliran ini. Dari khazanah lama “Surabaya“ nya Idrus bisa digunakan sebagai  contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan Rendra. Contoh pada sastra lama yaitu cerita kancil, hikayat Bayan Budiman.
3.      Aliran realisme
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, true-story, album kisah nyata, roman sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa yang memikat. untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif.
Contoh dari aliran reaslisme adalah Novel “Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu Ibu adalah Rinduku” karya Motinggo Boesye, “Bilik-bilik Muhammad” karya A.R.Baswedan, skenario  “Arie Anggara“ karya Arswendo Atmowiloto, novel biografis “Pangeran dari Seberang“ karya N.H.Dini tentang Amir Hamzah, novel “Dari Hari ke Hari“ Mahbub Junaidi, “ Guruku Orang Pesantren “ Syaifuddin Zuhri merupakan sekadar contoh sastra realis ini. Ia berusaha berjujur terhadap kenyataan, tetapi hal-hal yang peka, diungkapkan dengan cukup etis dan sublim.
4.      Aliran Absurdisme
Aliran dalam kesusastraan yang menonjolkan hal-hal yang di luar jalur logika, satu kehidupan dan bentang peristiwa imajinatif, dari alam bawah sadar, suasan trans. Pengarang aliran ini punya kesan mengada-ada, sengaja menyimpang dari konvensi kehidupan dan pola penulisan, tetapi pada super starnya, nampak kuat kebaruan dan kesegaran kreativitas mereka, bahkan kegeniusan mereka. Umumnya, mereka ini pernah pula sukses sebagai pengarang konvensional, sebagaimana para pelukis abstrak yang sempat meroket dan malang melintang di langit dunia mereka, bukan sunyi dari penciptaan lukisan-lukisan naturalis. Dramawan kontemporer/absurd yang tersohor, misalnya Putu Wijaya, N. Riantiarno dan Arifin C. Noer, juga punya seabrek karya  konvensional.





























Daftar Pustaka
Mujiyanto, Yant dan Amir Fuady. 2014 . Kitab Sejarah dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Pramono, Dedi. 2018 . Soft file Diktat Bahan Ajar Sejarah Sastra. Sastra-novel Populer.  
Teeuw, A . 2003 . Sastera dan Ilmu sastera . Jakarta : Pustaka Jaya

1 komentar:

Review Jurnal

REVIEW 2 ARTIKEL JURNAL TEORI KEBUDAYAAN Disusun oleh : Ch...