Sejarah Sastra Popular Indonesia
Disusun oleh :
Chika Ardeviya Rista
/ 1711025038
Mata Kuliah :
Sastra Populer
Dosen Pengampu :
Tristanti Apriyani, S.S.,M.Hum.
Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan
2018/2019
A.
Pengertian
Sastra
Sastra berasal dari kata Sastra (Sanskerta: shastra)
merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti
“teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang
berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki
arti atau keindahan tertentu. Sedangkan karya sastra adalah segenap cipta
sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, disertai adanya nafas dan roh
keindonesiaan, serta mengandung aspirasi dan kultur indonesia. Sejarah sastra
termasuk dalam aspek disiplin ilmu sastra lainnya seperti teori sastra dan
kritik sastra. Ilmu sastra adalah segenap perbincangan mengenai kesusastraan
yang diteropong dari sudut keimuan, dengan penalaran ilmiah, metodologis,
sistematika lengkap dengan bukti-bukti empiris.
Sebuah ilmu sastra diawali dari sebuah teori sastra yaitu
bagian dari ilmu sastra yang menjelaskan secara rinci tata istilah kesusastraan
serta bermacam-macam pembagian karya sastra. Pembagiannya dapat dilihat dari
bentuknya, genre, isinya dan sifatnya. Sebuah teori berisikan rumusan yang
ilmiah, sistematis dan metodologis. Dimana sebuah teori dapat dihasilkan dengan
adanya karya sastra yang kemudian ditelaah dengan cara membaca intensif,
ekstensif, kritis dan apresiatif karya sastra.
Setelah adanya teori-teori sastra
serta kumpulan karya sastra maka muculah sebuah sejarah sastra. Di dalam
sejarah sastra menjelaskan tentang periodisasi sastra, nama-nama angkatan dalam
kesusastraan, sastrawan – sastrawati disetiap angkatan, karya-karya sari setiap
angkatan, pertumbuhan dan perkembangan sastra dari setiap periodenya. Pada
sejarah sastra juga membahas mengenai aliran-aliran sastra seperti :
naturalism, realism, surealisme, romantisme, dan lain- lain.
Sementara itu kritik sastra adalah
suatu disiplin ilmu sastra yang khusus mengkaji kualitas karya sastra dan
merupakan studi/kajian terhadap karya sastra yang ada, sehingga keberadaan ilmu
ini memiliki ketergantungan dengan jumlah hasil karya sastra pada setiap
periodenya. Tetapi bukan berarti kritik sastra berperan hanya ketika banyak
hasil karya sastra saja. Justru kritik sastra ini digunakan oleh para penulis
sebagai pacuan agar sastrawan dapat meningkatkan kualitas karya penulis
sehingga mampu menghasilkan karya yang kreatif dan lebih bagus lagi.
Dari ketiga disiplin ilmu sastra tersebut
sangat berkaitan dan tidak dapat saling dipisahkan. Seperti kaitannya teori
sastra dengan sejarah sastra yang memberikan pengertian terminology istilah
angkatan dan periode sebagai dasar pembabakan sastra disetiap angkatan.
Kemudian kritik sastra dapat dibantu oleh teori sastra, sebab dalam menelaah
sebuah karya sastra membutuhkan pengertian-pengertian sastra yang berkualitas.
Sejarah sastra juga memberikan sumbangsih kepada teori sastra. Dari sejarah
sastra kita dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan genre sastra.
Sehingga dapat diteliti berbagai aspek seperti diksinya, baris dan bait, serta
unsur- unsur entrisik maupun irtrinsik dari angkatan sastra tersebut. Antar
ketiganya, ada yang saling mempertautkan, saling mengisi dan saling melengkapi
sebagi respon terhadap karya sastra.
Sejarah sastra Indonesia dibagi
menjadi dua masa yaitu masa kelahiran dan masa perkembangan. Dimana masak
kelahiran terdiri dari angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan
kesusastraan pada masa jepang. Sedangnkan masa perkembangan dimulai dari
angkatan 45, Angkatam 66, Angkatan 70-an, Angkatan 80-an, Angkatan
90-an,Angkatan 2000-an dan awal abad XXI.
B.
Pemahaman
Tentang Sastra Populer
Setelah mengetahui
pengertian sastra itu sendiri, sekarang pemahaman mengenai perbedaan antara
sastra popular dengan sastra serius menjadi hal pokok yang wajib diketahui. Dalam
dunia sastra terdapat dua kutub yang saling bersaing, yaitu kutub sastra serius
dan sastra populer. Sastra populer
menurut Bourdieu (dalam buku Language
and Symbolic Power, 1991) merupakan sastra yang dihasilkan oleh kaum
borjuis (pedagang, pengusaha), sedangkan
sastra serius merupakan sastra yang dihasilkan oleh kaum bohemian (para ilmuan ahi imu pengetahuan).
Dalam kaitannya dengan sastra populer, Lowenthal (Damono, 1979: 85-88) memerikan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan ciri-ciri sastra populer antara lain sebagai berikut :
1. Mementingkan
konsumen dan persoalan distribusinya
2. Menekankan segi hiburan penerimaan khalayak ramai
3. Bersifat nonmuseum
4. Mengandalkan media
massa
5. Berbentuk barang
komersial, dan
6. Dalam hal ukuran
seni, sastra populer lebih menekankan segi psikologis, yang dikaitkan dengan kondisi sosial, politik, dan
teknologi pada
masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
Media massa, seperti
surat kabar dan majalah, berperan penting
dalam penyebaran sastra populer. Sebagai produk dari budaya populer,
antara media massa dan sastra populer muncul beriringan. Bahkan perkembangan
sastra populer sejalan dengan maraknya penerbitan koran dan majalah umum di
kota-kota besar di Indonesia yang memuat rubrik sastra dan budaya. Surat
kabar yang sampai sekarang (2016)
memberi kolom untuk ruang sastra dan budaya antara lain Kompas,
Suara Karya, dan Republika (di
Jakarta), Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar (di Bandung), Suara Merdeka, Wawasan, mingguan Cempaka
(di Semarang), Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Harian Jogja (di Yogyakarta), Jawa
Pos (di Surabaya), Radar Malang
dan Surya Pos (di Malang).
Pada
umumnya surat kabar tersebut memberi ruang pada satu pekan sekali. Adapun genre
sastra yang tampil di media massa tersebut adalah sajak, cerita pendek
(cerpen), cerita bersambung (cerbung), bahkan kritik/esai sastra. Dari media
harian terlahir penulis-penulis seperti Abdul Wachid B.S, Abidah el-Khalieqy,
Ahmadun Yosi Herfanda, Helvy Tiana Rosa, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata,
Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, dan lainnya (lihat Rampan, Angkatan 2000). Dalam hal ini patut
dicatat, para penulis tersebut menggunakan media massa sebagai reproduksi dan
distribusi karya-karyanya, tetapi tidak bermaksud untuk menjadikannya sebagai
“sastra populer”, yang menggunakan formulasi sastra populer. Tidak sedikit di
antara para penulis media massa tersebut dapat keluar dari “Kubangan karya
populer” (Mahayana, 2000: 480) dan kemudian dikenal sebagai penulis ‘sastra
serius’.
Perkembangan sastra populer tidak terlepas dengan hadirnya beragam
majalah wanita di era tahun 1970-an. Majalah wanita yang hadir dan berjaya saat
itu seperti Gadis, Femina, Kartini,
Sarinah (di Jakarta), juga muncul tabloid mingguan Nova (Jakarta) Cempaka
(Semarang). Dari majalah-majalah tersebut muncul nama-nama penulis sastra
wanita yang juga kemudian menulis novel seperti La Rose, Titik Maryati
Mihardja, Ike Soepomo, Titie Said, Pipiet Senja dan sebagainya. Pada dekade
2000-an hadir pula majalah wanita yang bernafaskan keagamaan seperti Ummi, Paras, dan Muslimah (yang terakhir majalah terbitan Malaysia), juga terbit kumpulan cerita pendek remaja seperti Annida.
Dari majalah ini penulis-penulis lama seperti Helvy Tiana Rosa dan Asma
Nadia makin memiliki eksistensi, juga hadir para penulis baru seperti Izzatul
Jannah, Terre Liye, Sinta Yudisia, Afifah Afra, dan yang lainnya.
Ditinjau
dari sejarahnya, sastra populer di Indonesia mempunyai runtutan sejarah
panjang, bahkan lebih panjang dari "sastra serius”. Perintis munculnya
sastra populer Indonesia adalah warga Cina Peranakan dan warga Indo pada
sekitar akhir abad ke-19 dengan menggunakan bahasa Melayu.
Para warga Cina Peranakan
menghasilkan karya sastra sebagai bentuk pencarian tradisi sastra sendiri
setelah mereka gagal dari tradisi sastra nenek moyangnya sebagai akibat
ketidakmampuan dalam penggunaan bahasa (Salmon, 1985 : 2) dan tidak dapat masuk
ke dalam tradisi sastra tradisional Indonesia, yang juga sebagai akibat
ketidakmampuan mereka menguasai bahasa daerah. Secara rinci, Sumardjo (1992 :
7-8) menyebutkkan tiga faktor penyebab tumbuh suburnya sastra populer dengan menggunakan bahasa
Melayu di kalangan masyarakat Cina Peranakan antara lain sebagai berikut :
a.
Ketercerabutan
dari akar budaya nenek moyang, sehingga ada penyaduran dan penerjemahan karya-karya Cina ke dalam
bahasa Melayu Rendah, bahasa yang mereka kuasai sejak lahir di Indonesia
b.
Adanya
modal untuk percetakan, sehingga sastra dalam bahasa Melayu Rendah mudah
didapat; dan
c.
Orientasi
budaya mengarah ke Barat, masyarakat Tionghoa di Indonesia enggan menyerap budaya nenek moyangnya sendiri dan budaya
tradisonal setempat, maka berorientasi kepada
kebudayaan Barat yang berkembang pesat di kota-kota tempat mereka hidup
dan berusaha.
Sastra
populer pun berkembang di kalangan warga indo-Belanda. Alasan warga Indo tertarik kepada pengembangan karya
sastra dengan bahasa Melayu lebih bersifat politik etis (balas budi). Kegiatan ini dilakukan oleh para wartawan yang mulai sadar untuk
menempatkan masyarakat
di sekitar mereka sebagai bahan pembicaraan (Hartoko, 1979 : 4). Di samping
itu, warga Indo ingin membangun tradisi sastra sendiri dan mandiri yang tidak
terikat dan tergantung lagi kepada tradisi sastra Belanda dan tradisi sastra
Daerah.
Kedua
golongan warga tersebut adalah kaum intelektual (pada umumnya wartawan) yang
berkedudukan di kota, maka karya sastra yang mereka hasilkan adalah karya sastra
sebagai produk budaya kota yang pada saat itu telah banyak dipengaruhi oleh
budaya Barat, yang kemudian sebagai cikal bakal karya yang disebut sebagai
karya sastra populer.
Model
sastra ini berkembang pesat setelah munculnya terbitan berbahasa Melayu dan
Belanda. Pada tahun 1885 telah hadir 28 nama surat kabar yang berbahasa Arab dan Jawa. Karya sastra
populer berbahasa Melayu pertama lahir tahun 1884 dari tulisan Lie Kim Hok (1853 - 1912) berjudul Sobat Anak-anak. Sejak saat itu, lahirlah berbagai
sastra populer yang sebagian besar merupakan saduran dari sastra populer Barat
pada zaman itu seperti Rocambele,
Monte Christo, Kapten Flamberge, juga beberapa saduran
dari sastra silat Cina. Dari kalangan Indonesia lahir judul-judul seperti Nona
Leonie karya HFR Kommer, Nyai
Isa oleh F. Wiggers, dan Nyai
Dasima karya G. Francis, dan dari pengarang pribumi berpendidikan Barat
muncul karya berjudul Rossina karya
F.D.J. Pangemanann (orang Minahasa : 1870 - 1910). Kedua kelompok perintis
sastra populer Indonesia tersebut memiliki perbedaan dalam penggunaan 'bahasa'
dan 'bahan cerita'. Kelompok warga Cina Peranakan memakai bahasa Melayu-Cina, sedangkan kelompok
warga Indo memakai bahasa Melayu-Rendah
dan Melayu-Tinggi. Pada
kelompok pertama bahan cerita diambil dari kehidupan kalangan masyarakat Tionghoa di kota, sedangkan pada
kelompok kedua digali dari kehidupan masyarakat Indonesia secara umum di
kota-kota. Persamaan pada keduanya adalah kedekatan cerita dengan masalah yang
aktual di masyarakat dan bergaya sensasional dengan pemberian predikat
"terjadi benar-benar" pada setiap judul yang diterbitkan (Sumardjo,
1991 : 172 - 173).
Sastra populer yang dirintis kelompok Cina Peranakan
mencapai zaman keemasan pada sekitar tahun 1925, setelah adanya terbitan berkala
tiap bulan. Setiap bulan terbit satu atau dua karya sastra dengan tebal 80
halaman. Dalam hal bahan cerita juga terdapat perkembangan, tidak saja
bercerita tentang masyarakat Tionghoa di
kota, tetapi juga masyarakat Indonesia secara umum seperti tentang babu,
petani, dan sejarah Indonesia.
Sastra populer yang dirintis kelompok Indo dan pribumi berpendidikan Barat
seakan berhenti, mereka mengalihkan perhatian kepada proses kreatif karya
sastra yang lebih serius melalui Balai Pustaka.
Pembaca
sastra populer Melayu Cina ternyata bukan terbatas pada masyarakat Cina
Peranakan, tetapi juga masyarakat
Indonesia. Maka, muncul usaha memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri dengan
sastra populer yang ditulis pengarang Indonesia sendiri. Dengan demikian, hadir
dua kubu kelompok pengembang sastra populer, yaitu kelompok Cina Peranakan
dengan bahasa Melayu-Cina dan kelompok sastrawan Medan dengan bahasa
Melayu-Rendah.
Kelompok
sastrawan Medan, dalam hal bentuk dan aturan pencetakan, meniru gaya kelompok
Cina‑Peranakan. Karya sastra berseri bulanan diterbitkan. Tebal halaman
novel-novel populer tidak lebih dan tidak kurang dari 80 halaman dengan ukuran
kecil; perhitungan ekonomis dengan 5 lembar kertas koran yang dijadikan 16
halaman pada tiap lembarnya. Bila cerita lebih panjang dari jumlah halaman yang
ditetapkan penerbit (80 halaman), maka diterbitkan dalam beberapa jilid, dan
jika cerita lebih pendek dari jumlah halaman tersebut, maka ditambah 'bonus'
berupa cerita pendek.
Bila sastra Cina-Peranakan dalam pengembangan sastra
populernya bergeser dari sastra Cina kepada orientasi sastra Barat, maka sastra
Medan berorientasi pada sastra Arab (Sumardjo, 1991 : 175). Maka,
bermunculanlah karya sastra populer dari kedua kelompok itu yang berasal dari sastra
Barat dan Arab. Karya sastra yang merupakan saduran dari sastra Barat, misalnya
Sie Cay Kim dari La
Dame aux Camelias, Setan dan Amur dari Kreutzer Sonata, Maen Komedi dari Graaf de Monte Cristo, dan sebagainya. Karya sastra
populer yang merupakan saduran dari sastra Arab, seperti Cinta Yang Kudus merupakan
saduran karya Jirji Zaidan.
Sastra Medan dalam beberapa hal masih terpengaruh oleh
sastra Cina peranakan, seperti penulisan cerita percintaan, cerita mitos (mythe), dan cerita sensasional yang
bersifat fiktif. Model ini agak bergeser saat penulis muda kelompok ini, Jusuf
Souyb, nenerbitkan cerita-cerita detektif seperti serial Elang Mas dan Pacar Merah. Penulis sastra Medan lain seperti
A. Damhuri, Dali Mutiara, Merayu Sukma, Si Uma, dan Ratna Zet, banyak menggarap cerita tentang pertentangan
golongan tua dan muda, tetapi penggarapannya kurang dalam dan kurang kompleks.
Pembahasan bersifat klise, yaitu yang tua salah dan yang muda benar, watak
tidak berkembang, mengabaikan faktor ilmu jiwa, dan cenderung pada penggambaran
hitam putih. Oleh karena itu, karya sastra ini akhirnya mengarah pada hal-hal
pornografi yang sering mendatangkan banyak protes dari masyarakat (Sumardjo,
1991 : 174). Berbeda dengan sastra Cina-Peranakan, walaupun beberapa karya sastra bersifat
pornografi, seperti Jadi Korbannya Nafsu dan Bunga Mawar Berduri karya Hauw San Liang, tetapi kecaman terhadap sastra kelompok
ini lebih banyak tertuju pada sifat-sifat kekejaman dan kriminalitasnya
(Sumardjo, 1991 : 174).
Hal yang menarik dari perkembangan sastra populer di
Indonesia adalah bahwa jenis sastra ini tidak pernah mengalami "krisis
sastra". Jenis sastra populer ini selalu terbit tanpa mengalami masa
senggang. Sastra populer Indonesia mengalami kemandegan pada masa pendudukan
Jepang (1942-1945) dan selama Revolusi Fisik (1945-1949). Perjalanan sastra
populer, terutama sastra Medan, bergerak kembali mulai tahun 1950. Adapun
sastra Cina Peranakan, secara formal, telah berhenti karena masyarakat Cina
telah diintegrasikan dengan penduduk pribumi dalam hal bahasa, pendidikan, dan
bahan bacaan.
Satu-satunya sastra Cina Peranakan yang masih hidup
adalah cerita silat yang dikembangkan Asmaraman S. Kho Ping Hoo, Gan KL, dan
sebagainya. Model cerita silat bahkan pada awal tahun 60-an, menguasai pembaca
sastra populer Indonesia. Hal ini disebabkan faktor politik, yaitu dengan
ditetapkannya Keputusan Presiden tentang 'demokrasi terpimpin' yang
menghentikan semua lektur Barat, terutama dalam karya seni musik dan film.
Hal yang menarik terjadi ketika zaman 'demokrasi
terpimpin' mulai berkibar megah, sastra populer Indonesia justeru bersifat
lektur sastra Barat 100% (Sumardjo, 1991 : 177). Segala sesuatu yang tidak
dapat dinikmati melalui film, majalah, barang hasil budaya Barat, ternyata dapat dipenuhi dengan
penerbitan sastra populer Barat. Karya sastra populer berupa saduran- saduran
dan terjemahan Barat, seperti cerita detektif, cerita western (petualangan), dan cerita perang
dunia, dari pengarang Barat, seperti Earl Stanley Gardner, Agatha Cristie,
George Simenon, dan Ellery Queen, membanjiri khasanah sastra populer Indonesia.
Bahkan, tulisan Ian Flemming dalam seri James
Bond telah dikenal pembaca Indonesia melalui sastra sebelum melalui film.
Puncak dari penerbitan saduran dan terjemahan Barat tersebut terlihat pada
penerbitan buku-buku seri "Rocket" Jakarta.
Setelah masa 'demokrasi terpimpin, atau Sumardjo (1991 :
177) memberi istilah sebagai masa 'tertentu dalam kebudayaan', masyarakat
Indonesia dapat secara bebas menyaksikan berbagai basil budaya Barat melalui
film di bioskop, menyebabkan ’mimpi-mimpi tentang kemajuan Barat' tidak lagi
menjadi pusat perhatian. Maka ketika pada sekitar tahun 1967 Motinggo Busye
mulai menerbitkan novel-novel dengan latar kehidupan golongan menengah dan elite
di Jakarta, masyarakat segera menyambutnya. Masyarakat dengan antusias
mengikuti penggambaran kebobrokan para kaum elite yang dikemukakan secara
realistik (Sumardjo, 1991 : 178), misalnya pada novel Cross Mama, Cross Papa (1967). Dalam novel tersebut dan
novel-novel Motinggo Busye berikutnya, penggambaran hubungan intim para tokoh
cerita ditampilkan secara berani.
Model-model Motinggo ditiru oleh para epigonnya, hanya
dalam penggambaran hubungan intim pelaku para epigonnya jatuh kepada
penggambaran pornografi. Pada novel Motinggo Busye hubungan intim tersebut
sebagai 'pelengkap' bagi cerita, sedangkan para epigonnya justeru menjadikannya
sebagai 'tujuan’ cerita, seperti terlihat, pada novel tulisan Valentino (tahun
70-an), Enny Arrow (tahun 80-an), dan Susy Astika (tahun 90-an). Para epigon
inilah yang kemudian menjerumuskan Motinggo Busye dalam tuduhan sebagai penulis
novel porno (Sumardjo, 1991 : 178).
Gaya sastra populer Indonesia sejak masa perintisan
sampai zaman Motinggo Busye, cenderung bersifat lelaki karena ditulis oleh kaum
lelaki dan diarahkan kepada pembaca lelaki. Kondisi ini membuat kaum wanita
merasa 'dilecehkan' karena pada sastra bersifat lelaki, pada umumnya,
penggambaran wanita diposisikan sebagai 'objek pemuas nafsu syahwat lelaki’. Maka, pada tahun 1972 terjadi
'revolusi' hasil bacaan sastra populer setelah terbitnya novel dari pengarang
wanita, Marga T, dalam judul Karmila, dengan tokoh protagonis wanita, dan bertemakan masalah wanita.
Sejak itu munculah sastra populer yang bersifat 'wanita', baik yang ditulis
pengarang wanita maupun ditulis oleh pengarang lelaki. Para pengarang wanita,
misalnya La Rose menulis Wajah-wajah Cinta, Titiek WS menulis Sang Nyonya, dan Ike Soepomo menulis Kembang Padang Kelabu. Abidah El-Khaliqy mengarang Perempuan Berkalung Surban, Hanum
Salsabiella Rais menghasilkan 99 Cahaya di Langit Eropah, dan
sebagainya.
Para pengarang lelaki yang banyak menulis sastra populer
bersifat, 'wanita' misalnya Eddy D. Iskandar menulis Semau Gue, Ashadi Siregar menulis Cintaku di Kampus Biru, dan
Motinggo Busye menulis Puteri Seorang Jenderal. Pengarang terakhir ini merupakan perintis jejak sastra
bersifat ‘wanita'. Dari tahun 1963 sampai 1983 tidak kurang dari lima puluh novel judul
dihasilkan Motinggo Busye (Pramono, 1995), sebagian besar menempatkan tokoh wanita dan persoalan wanita sebagai
persoalan utama, seperti dalam Perempuan itu bernama Barabah, Puteri
Seorang Jenderal, Rendesvouz, Rindu Ibu adalah Rinduku, Fathimah Chen-Chen,
Joke Tamomoan, dan sebagainya.
C.
Aliran
– aliran karya sastra
Aliran sastra
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang
digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau
falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang
dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra
biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya
ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur
aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra
yang berada pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup,
berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan
alam semesta ini.
1.
Aliran
Romantisme
Aliran romantisme ini menekankan kepada
ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca
tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Tujuan dari aliran romantisme ini adalah mengajak pembaca, audiens, dan masyarakat agar dapat tertawa atau menangis sehingga mereka dapat menyatakan hidup ini berguna.
Contoh : puisi-puisi Amir Hamzah antara lain Buah Rindu, Karena
Kasihmu, Memuji Dikau,Mengawan dan Do’a.
2.
Aliran
Naturalisme
Aliran yang mementingkan pengungkapan secara
terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. naturalisme juga melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat dan dirasa
oleh pancaindra. Tujuannya
adalah mengungkapkan sesuatu seobjektif mungkin tanpa pretense dan tanpa
prasangka. Contohnya yaitu kumpulan sajak F. Rahardi
seperti “ Catatan Harian Sang Koruptor” dan “ Sumpah WTS ”, beberapa sajak Rendra “ Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta “, “ Rick
dari Corona “, “ Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA “ bisa ditunjuk sebagai
contoh pengibar aliran ini. Dari khazanah lama “Surabaya“ nya Idrus bisa
digunakan sebagai contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan
Rendra. Contoh pada sastra lama yaitu cerita kancil, hikayat Bayan
Budiman.
3.
Aliran
realisme
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis merupakan
kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para pengarang realis
adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka.
Biografi, otobiografi, true-story, album kisah nyata, roman sejarah, bisa kita
masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda dengan berita surat kabar atau
laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra,
ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa yang memikat. untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif.
Contoh
dari aliran reaslisme adalah Novel “Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu Ibu
adalah Rinduku” karya Motinggo Boesye, “Bilik-bilik Muhammad” karya
A.R.Baswedan, skenario “Arie Anggara“ karya Arswendo Atmowiloto, novel
biografis “Pangeran dari Seberang“ karya N.H.Dini tentang Amir Hamzah, novel
“Dari Hari ke Hari“ Mahbub Junaidi, “ Guruku Orang Pesantren “ Syaifuddin Zuhri
merupakan sekadar contoh sastra realis ini. Ia berusaha berjujur terhadap
kenyataan, tetapi hal-hal yang peka, diungkapkan dengan cukup etis dan sublim.
4.
Aliran
Absurdisme
Aliran
dalam kesusastraan yang menonjolkan hal-hal yang di luar jalur logika, satu
kehidupan dan bentang peristiwa imajinatif, dari alam bawah sadar, suasan
trans. Pengarang aliran ini punya kesan mengada-ada, sengaja menyimpang dari
konvensi kehidupan dan pola penulisan, tetapi pada super starnya, nampak kuat
kebaruan dan kesegaran kreativitas mereka, bahkan kegeniusan mereka. Umumnya,
mereka ini pernah pula sukses sebagai pengarang konvensional, sebagaimana para
pelukis abstrak yang sempat meroket dan malang melintang di langit dunia
mereka, bukan sunyi dari penciptaan lukisan-lukisan naturalis. Dramawan
kontemporer/absurd yang tersohor, misalnya Putu Wijaya, N. Riantiarno dan
Arifin C. Noer, juga punya seabrek karya konvensional.
Daftar Pustaka
Mujiyanto, Yant dan Amir Fuady. 2014 . Kitab Sejarah dan Sastra
Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Pramono, Dedi. 2018 . Soft
file Diktat Bahan Ajar Sejarah Sastra. Sastra-novel Populer.
Teeuw, A . 2003 . Sastera
dan Ilmu sastera . Jakarta : Pustaka Jaya
Good!
BalasHapus