Terkadang
Berpisah itu Indah
Awan kelabu
membumbung tinggi di angkasa seakan kecewa dengan dunia. Nyiur yang menari kini
telah berhenti dan berdiam diri. Jarum jam yang setiap hari berdenting tak
mampu berdiam walau sekejap mata. Akupun tak mampu mendiamkannya walau sekejap
saja. Begitupula dengan waktu yang sudah berlalu dan tak mampuku kembalikan
seperti dulu. Andai ada cara untuk mengulanginya pasti akan kulakukan, walaupun
itu menakutkan dan tak masuk akal. Kini tinggal kehancuran yang kurasakan
akibat dari perbuatan yang menimbulkan penyesalan . Dulu, dulu, dahulu dan senja
telah berlalu dan tak mampu kupertemukan dengan purnama kala itu.
Ketika bumi mulai
meninggalkan purnama dan berpapasan dengan sang surya. Kucoba membuka mata dan
mulai menata cerita. Mentari kali ini begitu terik hinggaku tak sanggup
berjalan dibawahnya tuk melangkah menuju tempat pengabdian. Namun langkah kaki
ini harus sampai tepat waktu sehingga tak membawa luka untuk kesekian kalinya.
Cukup aku yang pernah menerima luka dan mereka yang bahagia. Mendekati sekolah
pengabdianku, kini kumulai terpaku melihat tawa yang terpancar di wajah lugu
mereka. Inilah mereka yang bahagia apa adanya tanpa menghiraukan beban berat
dipundaknya. Mendedikasikan diri pada negeri di pedalaman seperti ini tentunya
tak mudah kujalani. Lika – liku dan
perdebatan batin sudah kulalui dengan kata pasrah dan menerima kehendak-Nya.
Pengabdian ini memang bukan keinginanku melainkan sudah garis hidupku.
Langkah
pengabdian ini menjadi jembatanku untuk melarikan diri dari kenyataan yang
sudah terjadi. Entah semula berawal dari mana, namun pada akhirnya hanya
membawa luka. Aku dulu bahagia ditempat yang sudah 21 tahun membuat hidupku penuh
tawa dan terhindar dari duka. Namun lamanya 21 tahun mampu terbunuh dengan 1
hari penuh duka. Hancur…Hancur dan hancur lebur seketika. Muak.. Muak dan muak menyatu menjadi luka. Tak mudah
menghapuskan kejadian itu hinggaku menerima garis takdir untuk mengabdi di
pedalaman negeri. Aku wanita yang biasa hidup di kota dan kini harus terbiasa dengan hidup
serba apa adanya di desa. Aku mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia dari
kelas 3 – 5 SD. Mengajar merupakan jalur yang berbelok dari jurusanku dulu
ketika di bangku kuliah. Namun dedikasiku untuk negeri menjadikan kaki ini
melangkah hingga sampai di sini. Melihat canda tawa mereka membuat hatiku mulai
sembuh dari luka yang tak pernah kudapati obatnya. Aku ingin mereka tertawa dan
bahagia sehingga aku mampu terbawa dengan suasana ceria mereka.
Ika Humaira
itulah nama yang disematkan orang tua pada gadis pertamanya yang memiliki rona
pipi kemerah – merahan . Ikut serta membangun negeri dengan pengabdian ini
sungguh menjadi beban yang berat dihidupku. Iya karena aku bukan lulusan
pendidikan,namun lulusan akuntansi di salah satu perguruan negeri di Jakarta.
Namun di sinilah aku mengetahui akan hidup yang sebenarnya. Hidup yang penuh
dengan perjuangan demi mendapatkan sesuap nasi dan selembar rupiah. Gajiku
memanglah tak seberaba dibanding dengan gajiku dulu sewaktu bekerja di
perusahaan bonafit di Jakarta. Hanya satu yang membuatku nyaman di sini. Aku
mampu terbebas dari luka lama yang ingin kubuang bersama rindu masa lalu.
Kegiatan mengajar kulakukan hampir setiap hari. Dan setiap hari itupula luka
itu mulai mengikis dan sudah kukubur hampir tak nampak lagi.
kring…kring..
kring…. Bunyi telfon membuatku terbangun di pagi hari. Mata yang layu
dengan tangan yang kaku kumencoba meraba – raba ponsel di meja dekat ranjangku.
Tanpa kulihat siapa yang menelfonku di pagi buta macam ini segera kuangkat dan
berkata “ Hallo, maaf ini dengan siapa ya? Ada yang bisa saya bantu? ” 20 detik
berlalu dan tak ada jawaban darinya. Tutttt…tuttt… hilang sinyal atau
sengaja dimatikan akupun tak tau. Sejak
pagi itu puluhan sms berantai dengan berisikan kata maaf datang beruntun
di ponselku. Aku tak mengetahuinya namun aku dapat merasakan bahwa ini pesan
dari dia. Dia yang pernah membawa tawa namun harus berakhir dengan duka.
Sebelum aku
meninggalkan mereka yang mengaku sayang padaku. Aku sudah mengetahui adanya
luka diantara kita. Aku dulu hidup serba ada, ada harta, ada teman, ada kasih
sayang dari orang tua. Bagaimana aku tidak bahagia jika selama 21 tahun aku
hidup bersama mereka. Mempunyai dua sahabat sejak masa kanak – kanak hingga dewasa
menjadikan hidupku penuh warna. Sebut saja
Widia dan Lia, Dua perempuan yang memiliki karakter yang berbeda. Widia adalah
seorang gadis yang cantik, friendly dan
humble . Lain dengan Lia yang super aktif dengan hobby olahraganya dan
bercita – cita menjadi polisi wanita. Mungkin hanya aku yang memiliki karakter
yang biasa – biasa saja. Widia yang terlalu centil berbanding dengan lia yang
tomboy menjadikan aku penengah diantara mereka. Ada saja hal yang selalu
membuat mereka berdebat dari zaman kanak – kanak hingga masa SMA. Iya apa lagi
kalau bukan kriteria pujaan hati. Si tomboy suka yang berotot sedangkan yang
centil suka cowok seperti oppa korea. Sedangkan aku ? jangan tanyakan aku yang
dulu . Karena aku yang dulu adalah wanita yang lugu dengan cerita cinta yang penuh
dengan abu-abu.
Detik demi detik berlalu, menjadi menit yang
memburu waktu dan menjadikan hari yang menyiratkan jalan hidupku. Aku, Widia
dan Lia kini menginjak usia belasan tahun. Setelah tamat dari bangku dasar kini
kami memulai cerita baru di masa putih biru. Aku dan Widia memulai masa putih
biru di sekolah negeri yang sama . Lain lagi dengan Lia yang melanjutkan di
madrasah tsanawiyah karena kehendak keluarganya. Perbedaan sekolah tak
menjadikan kami berjauhan tapi semakin erat tali persahabatan. Hampir setiap
minggu pagi kami bersepeda hingga makan bersama. Berbeda dengan aku dan Widia
yang hampir setiap waktu ketemu, menjadikan Lia sasaran empuk tuk dikorek –
korek kisah hidupnya sebagai anak pesantren.
“ Along (panggilan untuk anak perempuan
dalam bahasa melayu), gimana nih kisah putih biru di madrasah? Seneng
nggak, bolehlah kenalin kita sama hafiz muda gitu? ” senggol Widia yang terlalu
semangat mengorek cerita Lia. Aku yang duduk di samping Liapun hanya menatapnya
penuh tanya dan mencoba meluruskan kata –kata dari widia. “Maksudnya widia itu
ada nggak hafiz muda yang mau ngajarin ngaji dia? hahah” kata – kataku seketika
membuat perut Lia sakit dan muka cemberut terpampang di wajah Widia. Maklumlah diantara
kami hanya Widia yang jarang ngaji, Bahkan membedakan huruf hijaiyahpun tak sanggup. Dulu saat kelas 6
ujian baca tulis qur’an Widia sampai bolos karena takut nggak lolos. “ Kau ini
ka, janganlah kau cakap macam tu malulah awakni” logat melayu widia akhirnya
keluar juga walau sudah lama hidup di Jakarta. Hanya Widia yang berasal dari
tanah sumatera sedangkan aku dan Lia berasal dari tanah jawa. Keberagaman suku,
ras dan bahasa inilah yang menjadikan tali persahabatan kami erat.
Lia sedari tadi hanya diam tersipu malu tanpa
melontarkan satu katapun dari mulut manisnya. Hingga ia berani mengungkapkan
rasa yang sudah dipendamnya selama 2 bulan awal pesantrennya “ Ehmm…hmmm.. aku
malulah cerita sama kalian. Aku ini bandel di pesantren, sumpah nggak betah
akuuu. Ya, walaupun banyak ikhwan dambaan surga. Tapi aku tuh nggak bebas .
nggak boleh pake celana, ngga boleh main sepak bola nggak boleh ini nggak boleh
itu .. sumpah gue ngga kuat sob”. Nada
yang mengiringi ceritanya seperti alunan gendang yang awalnya pelan dan semakin
kencang terdengar di telinga. Seketika itupun aku dan Widia hanya diam seribu
bahasa tak tau mau menjawab apa.
Pertemuan kami
setiap minggunya hanya sebentar tak selama dulu. Itu karena Lia harus bergegas
kembali ke pesantern dan widia yang mulai sibuk les bahasa sedangkan aku aktif
di organsisai pramuka. Sebelum Lia
pulang dia hanya memberi kami sebuah teka – teki tentang anak Kiayi yang
menawan hati. Widia yang centil mulai keluar rona merah jambunya. Aku tak
menggubris apaun teka – teki itu dan bergegas merapihkan cangkir bekas minum
Widia dan Lia. Sebelum pulang sambil berlarian Lia hanya mengucapkan nama Pandu
hingga telinga Widia menangkapnya candu. “ Apaan si Lia ni masa nama anak
kiayinya candu. Atau jangan – jangan malah pecandu lagi ” gumam widia saat membantuku
merapihkan meja seperti sediakala. “ Anake Kiayi iku jenenge Pandu dudu candu
Wid.. Wid..” letupan bahasa jawaku
akhirnya keluar juga. Kami akan bertemu
dengan Lia lagi saat tanggal merah diakhir bulan depan.
Kegiatan OSIS
yang mulai padat membuatku susah mengatur waktu antara belajar dan persahabatan
kami. Perlahan setiap minggunya kamipun jarang seharian bersama. Terhitung dari
bada azar hingga magrib kami bersama. Itupun kalau salah seorang di antara kami
ada kegiatan saat jam 4 sorepun bubar seketika. Waktu yang seminim itupula aku
jadikan sebagai waktu istimewa dengan mereka. Namun terkadang saat kami
bersama, widia selalu saja menanyakan soal Pandu. Mereka terlihat asik sekali
membahas tentang Pandu yang tampan, penghapal quran dan pandai. Pernah suatu
ketika mereka berebut foto yang berhasil diambil Lia saat ujian akhir madrasah
berlasung. Ketika itu teknologi belum
merambahi kami. Tak ada whatApp ataupun grub maya seperti saat ini.
Berkirim surat kadang kami lakukan. Hanya mengandalkan telepon jadul yang
menjadi jembatan penghubung kami.
Waktu bergulir
begitu cepat hingga 3 tahun masa putih birupun tamat. Persahabatan kami masih
sama dan kami memutuskan tuk memilih almamater yang sama. Di SMA 1 ketanten
salah satu sekolah terfavorit di kota kami. Memasuki masa putih abu tak
disangka kami masuk di kelas yang sama. Awalnya aku sebangku dengan Widia,
namun aku tak ingin ada jarak dengan Lia. Akhirnya kamipun memutuskan untuk
tidak satu bangku melainkan kami duduk berderet dengan kawan lain. Setelah Lia
keluar dari Ponpes dia terlihat lebih fresh dan semakin gila dengan olahraga.
Saat di ponpes memang ada batasan yang membuat Lia tertekan dan tak menjadi
dirinya sendiri. Kali ini dia ingin memanfaatkan masa SMA untuk mempersiapkan
dirinya mengikuti seleksi polisi wanita.
Mulai dari
tahun pertama hingga tahun terakhir di SMA tidak jauh berbeda. Sama saja,
seperti Widia yang dari awal hingga akhir langgeng bersama Dani. Lia yang dari
awal hingga akhir masih sama semangatnya menjadi polisi wanita. Dan aku yang
dari awal hingga akhir tak ada perubahan selain kata jomblo jadi sematan dalam
diri. Saat masa terakhir inilah kami sudah mencari jalan hidup sendiri/ sudah tidak
ada kata – kata, aku ikut kamu lah aku mau sama kamulah. Iya karena impian kita
berbeda. Tentunya harus ada pengorbanan mungkin salah satunya persahabatan.
Walau sudah jarang bersama namun ikatan jiwa masih terikat kuat. Aku yang
sedari awal ingin menjadi akuntan akhirnya benar –benar diterima di salah satu
sekolah keuangan milik kedinasan. Lia yang sedang memulai seleksi menjadi
polisi dan Widia yang hampir mau nikah saja karena ditolak sana – sini dari
perguruan tinggi. Tapi akhirnya dia diterima lewat jalur mandiri di salah satu
perguruan negeri.
Selama
kuliahpun kami berpencar. Aku masih stay di Jakarta. Lia yang sudah
ditugaskan di Papua dan widia yang kuliah di Yogyakarta. Kami hanya bisa kumpul
saat lebaran saja. Selebihnya hanya berkirim pesan di sosial media. Cerita –
cerita merekalah yang selalu kunanti. Terkadang saat bersama mereka kami bisa
seharian di kamar widia. Menceritakan mulai dari hal sepele, lelucon hingga
pasangan impian. “ Eh tau nggak gue kemarin hampir aja nilang anaknya comedian
, ternyata cakep lho. Tapi sayang udah punya pacar.. hmm.. hmm”. Baru kali ini
Lia cerita tentang cinta,sepertinya dia sudah mulai lelah dengan kejombloannya.
Sautku dalam hati. Berbeda dengan widia yang berhasil meluluhkan hati keponakan
sultan.
Empat tahun
berlalu dengan indah. Aku berhasil lulus dengan cumlaude dan sudah
diterima di perusahaan bonafit di Jakarta. Begitupula dengan Widia yang hampir
wisuda dan Lia yang sudah naik jabatan. Kedua orang tuaku juga sudah merengek
agar aku mau bertunangan dengan lelaki yang diam – diam sudah dijodohkan
denganku sejak lama. Aku tak pernah mengetahuinya karena eyanglah yang menjadi
dalang semua ini. Serentak aku berontak tak mau bertunangan denga dia. Walaupun
tampan dan kaya raya sekalipun aku tetap tidak suka dengan cara mereka. Hanya
demi mempertahankan silsilah keluarga, menjadikan perasaan sebagai korbannya.
Ini bukan tentang derajat kebangsawanan yang mengalir pada darahku, tapi karena
aku tak ingin menjadi katak dalam tempurung.
Dua bulan
setelah wisuda, aku dipanggil eyang untuk menghadap. Sejak saat itulah aku mengetahui
semuanya. Ingin teriak rasanya dan tak ingin mengingat – ingatnya. Selama satu
minggu di solo aku dikenalkan dengannya. Muhammad Seno Subroto silsilah
kesultanan Yogyakarta harus meminang salah satu silsilah kesultanan Surakarta.
Dan yang menjadi korban adalah aku. Karena aku putri tunggal dari ayahku yang
sama – sama berdarah biru. “Dulu ayah dan ibu juga mengalami perjodohan nduk,
lihat mereka nampak bahagia bukan. Apalagi memiliki gadis sepertimu. Tak
selamanya perjodohan itu menimbulkan luka. Jadi saran eyang kamu kenalan dulu
ya.” Omongan eyang tak dapat terbantahkan oleh siapapun . Apalagi aku, cucu
tunggalnya yang sangat menyayanginya. Perkenalan itu tak dapat terhindarkan .
Kami saling bertukar pesan, selalu dalam pengawasan saat ketemuan. Hingga aku
dan seno memantapkan hati melangkahkan kaki menuju pernikahan suci. Memang
awalnya karena dipaksa tapi setelah kami pendekatan muncul rasa diantara kita
dengan visi dan misi yang sama.
Diwaktu lain
widia datang dengan hati yang hancur berkeping – keping. Selain gagal wisuda di
tahun ini ternyata dia ditinggalkan kekasihnya begitu saja. Aku mencoba
menenangkan hatinya memberikan motivasi sekaligus kabar gembira, kalau dua
minggu lagi aku akan menikah dengan pria yang dijodohkan eyangku. Sontak widia
yang sedari tadi mencucurkan air mata
kini menatapku bahagia. Dia memintaku untuk menceritakan perjodohannya. Namun,
saat aku menyebut nama Muhammadi Seno Subrota seketika wajah pucat nampak
padanya. “ Apa vi, Seno Sulistyo?” entah mengapa widia tercengang saat aku
menyebut namanya. “ Iya wid. Jadi kami itu ternyata sudah dijodohkan sejak lama
dilihat dari weton jawa. Aku juga ngga nyangka. Aku jadi korban eyang juga” jelasku semcam itu. “ Selamat deh vi,
kamu udah berhasil ambil dia dari aku” widia menutup curhatannya dengan kata
semacam itu. Akhirnya aku baru sadar kalau Seno ternyata kekasih yang telah meninggalkannya
untuk menikah denganku. Tapi aku tak mampu berbuat apapun. Semua sudah terjadi,
undangan sudah disebar. Semua akan kacau kalau aku membatalkan sepihak. Tapi
apa daya aku harus melakukannya. Karena persahabatan kami yang jadi taruhannya.
Saat itulah aku
meminta Seno untuk mengejar Widia yang ternyata cinta pertamanya. Dan
meninggalkan aku beserta semua rencana pernikahan kami. Aku memohon ampun
kepada eyang atas semua yang aku lakukan. Tapi eyang malah bangga denganku,
membiarkan dia bahagia bersama wanita pujaannya. Dan akhirnya aku memutuskan
lenyap dari ibu kota, berharap bertemu pujaan hati dilain kota.
Yogyakarta, 23 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar