Senin, 04 Maret 2019

Teras Sastra


Terkadang Berpisah itu Indah

Awan kelabu membumbung tinggi di angkasa seakan kecewa dengan dunia. Nyiur yang menari kini telah berhenti dan berdiam diri. Jarum jam yang setiap hari berdenting tak mampu berdiam walau sekejap mata. Akupun tak mampu mendiamkannya walau sekejap saja. Begitupula dengan waktu yang sudah berlalu dan tak mampuku kembalikan seperti dulu. Andai ada cara untuk mengulanginya pasti akan kulakukan, walaupun itu menakutkan dan tak masuk akal. Kini tinggal kehancuran yang kurasakan akibat dari perbuatan yang menimbulkan penyesalan . Dulu, dulu, dahulu dan senja telah berlalu dan tak mampu kupertemukan dengan purnama kala itu.
Ketika bumi mulai meninggalkan purnama dan berpapasan dengan sang surya. Kucoba membuka mata dan mulai menata cerita. Mentari kali ini begitu terik hinggaku tak sanggup berjalan dibawahnya tuk melangkah menuju tempat pengabdian. Namun langkah kaki ini harus sampai tepat waktu sehingga tak membawa luka untuk kesekian kalinya. Cukup aku yang pernah menerima luka dan mereka yang bahagia. Mendekati sekolah pengabdianku, kini kumulai terpaku melihat tawa yang terpancar di wajah lugu mereka. Inilah mereka yang bahagia apa adanya tanpa menghiraukan beban berat dipundaknya. Mendedikasikan diri pada negeri di pedalaman seperti ini tentunya tak  mudah kujalani. Lika – liku dan perdebatan batin sudah kulalui dengan kata pasrah dan menerima kehendak-Nya. Pengabdian ini memang bukan keinginanku melainkan sudah garis hidupku.
Langkah pengabdian ini menjadi jembatanku untuk melarikan diri dari kenyataan yang sudah terjadi. Entah semula berawal dari mana, namun pada akhirnya hanya membawa luka. Aku dulu bahagia ditempat yang sudah 21 tahun membuat hidupku penuh tawa dan terhindar dari duka. Namun lamanya 21 tahun mampu terbunuh dengan 1 hari penuh duka. Hancur…Hancur dan hancur lebur seketika. Muak.. Muak  dan muak menyatu menjadi luka. Tak mudah menghapuskan kejadian itu hinggaku menerima garis takdir untuk mengabdi di pedalaman negeri. Aku wanita yang biasa hidup di  kota dan kini harus terbiasa dengan hidup serba apa adanya di desa. Aku mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia dari kelas 3 – 5 SD. Mengajar merupakan jalur yang berbelok dari jurusanku dulu ketika di bangku kuliah. Namun dedikasiku untuk negeri menjadikan kaki ini melangkah hingga sampai di sini. Melihat canda tawa mereka membuat hatiku mulai sembuh dari luka yang tak pernah kudapati obatnya. Aku ingin mereka tertawa dan bahagia sehingga aku mampu terbawa dengan suasana ceria mereka.
Ika Humaira itulah nama yang disematkan orang tua pada gadis pertamanya yang memiliki rona pipi kemerah – merahan . Ikut serta membangun negeri dengan pengabdian ini sungguh menjadi beban yang berat dihidupku. Iya karena aku bukan lulusan pendidikan,namun lulusan akuntansi di salah satu perguruan negeri di Jakarta. Namun di sinilah aku mengetahui akan hidup yang sebenarnya. Hidup yang penuh dengan perjuangan demi mendapatkan sesuap nasi dan selembar rupiah. Gajiku memanglah tak seberaba dibanding dengan gajiku dulu sewaktu bekerja di perusahaan bonafit di Jakarta. Hanya satu yang membuatku nyaman di sini. Aku mampu terbebas dari luka lama yang ingin kubuang bersama rindu masa lalu. Kegiatan mengajar kulakukan hampir setiap hari. Dan setiap hari itupula luka itu mulai mengikis dan sudah kukubur hampir tak nampak lagi.
kring…kring.. kring…. Bunyi telfon membuatku terbangun di pagi hari. Mata yang layu dengan tangan yang kaku kumencoba meraba – raba ponsel di meja dekat ranjangku. Tanpa kulihat siapa yang menelfonku di pagi buta macam ini segera kuangkat dan berkata “ Hallo, maaf ini dengan siapa ya? Ada yang bisa saya bantu? ” 20 detik berlalu dan tak ada jawaban darinya. Tutttt…tuttt… hilang sinyal atau sengaja  dimatikan akupun tak tau. Sejak pagi itu puluhan sms berantai dengan berisikan kata maaf datang beruntun di ponselku. Aku tak mengetahuinya namun aku dapat merasakan bahwa ini pesan dari dia. Dia yang pernah membawa tawa namun harus berakhir dengan duka.
Sebelum aku meninggalkan mereka yang mengaku sayang padaku. Aku sudah mengetahui adanya luka diantara kita. Aku dulu hidup serba ada, ada harta, ada teman, ada kasih sayang dari orang tua. Bagaimana aku tidak bahagia jika selama 21 tahun aku hidup bersama mereka. Mempunyai dua sahabat sejak masa kanak – kanak hingga dewasa menjadikan hidupku penuh warna.  Sebut saja Widia dan Lia, Dua perempuan yang memiliki karakter yang berbeda. Widia adalah seorang gadis yang cantik, friendly  dan humble . Lain dengan Lia yang super aktif dengan hobby olahraganya dan bercita – cita menjadi polisi wanita. Mungkin hanya aku yang memiliki karakter yang biasa – biasa saja. Widia yang terlalu centil berbanding dengan lia yang tomboy menjadikan aku penengah diantara mereka. Ada saja hal yang selalu membuat mereka berdebat dari zaman kanak – kanak hingga masa SMA. Iya apa lagi kalau bukan kriteria pujaan hati. Si tomboy suka yang berotot sedangkan yang centil suka cowok seperti oppa korea. Sedangkan aku ? jangan tanyakan aku yang dulu . Karena aku yang dulu adalah wanita yang lugu dengan cerita cinta yang penuh dengan abu-abu.
 Detik demi detik berlalu, menjadi menit yang memburu waktu dan menjadikan hari yang menyiratkan jalan hidupku. Aku, Widia dan Lia kini menginjak usia belasan tahun. Setelah tamat dari bangku dasar kini kami memulai cerita baru di masa putih biru. Aku dan Widia memulai masa putih biru di sekolah negeri yang sama . Lain lagi dengan Lia yang melanjutkan di madrasah tsanawiyah karena kehendak keluarganya. Perbedaan sekolah tak menjadikan kami berjauhan tapi semakin erat tali persahabatan. Hampir setiap minggu pagi kami bersepeda hingga makan bersama. Berbeda dengan aku dan Widia yang hampir setiap waktu ketemu, menjadikan Lia sasaran empuk tuk dikorek – korek kisah hidupnya sebagai anak pesantren.
 “ Along (panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa melayu), gimana nih kisah putih biru di madrasah? Seneng nggak, bolehlah kenalin kita sama hafiz muda gitu? ” senggol Widia yang terlalu semangat mengorek cerita Lia. Aku yang duduk di samping Liapun hanya menatapnya penuh tanya dan mencoba meluruskan kata –kata dari widia. “Maksudnya widia itu ada nggak hafiz muda yang mau ngajarin ngaji dia? hahah” kata – kataku seketika membuat perut Lia sakit dan muka cemberut terpampang di wajah Widia. Maklumlah diantara kami hanya Widia yang jarang ngaji, Bahkan membedakan huruf  hijaiyahpun tak sanggup. Dulu saat kelas 6 ujian baca tulis qur’an Widia sampai bolos karena takut nggak lolos. “ Kau ini ka, janganlah kau cakap macam tu malulah awakni” logat melayu widia akhirnya keluar juga walau sudah lama hidup di Jakarta. Hanya Widia yang berasal dari tanah sumatera sedangkan aku dan Lia berasal dari tanah jawa. Keberagaman suku, ras dan bahasa inilah yang menjadikan tali persahabatan kami erat.
 Lia sedari tadi hanya diam tersipu malu tanpa melontarkan satu katapun dari mulut manisnya. Hingga ia berani mengungkapkan rasa yang sudah dipendamnya selama 2 bulan awal pesantrennya “ Ehmm…hmmm.. aku malulah cerita sama kalian. Aku ini bandel di pesantren, sumpah nggak betah akuuu. Ya, walaupun banyak ikhwan dambaan surga. Tapi aku tuh nggak bebas . nggak boleh pake celana, ngga boleh main sepak bola nggak boleh ini nggak boleh itu .. sumpah gue ngga kuat sob”.  Nada yang mengiringi ceritanya seperti alunan gendang yang awalnya pelan dan semakin kencang terdengar di telinga. Seketika itupun aku dan Widia hanya diam seribu bahasa tak tau mau menjawab apa.
Pertemuan kami setiap minggunya hanya sebentar tak selama dulu. Itu karena Lia harus bergegas kembali ke pesantern dan widia yang mulai sibuk les bahasa sedangkan aku aktif di organsisai pramuka.  Sebelum Lia pulang dia hanya memberi kami sebuah teka – teki tentang anak Kiayi yang menawan hati. Widia yang centil mulai keluar rona merah jambunya. Aku tak menggubris apaun teka – teki itu dan bergegas merapihkan cangkir bekas minum Widia dan Lia. Sebelum pulang sambil berlarian Lia hanya mengucapkan nama Pandu hingga telinga Widia menangkapnya candu. “ Apaan si Lia ni masa nama anak kiayinya candu. Atau jangan – jangan malah pecandu lagi ” gumam widia saat membantuku merapihkan meja seperti sediakala. “ Anake Kiayi iku jenenge Pandu dudu candu Wid..  Wid..” letupan bahasa jawaku akhirnya keluar juga.  Kami akan bertemu dengan Lia lagi saat tanggal merah diakhir bulan depan.
Kegiatan OSIS yang mulai padat membuatku susah mengatur waktu antara belajar dan persahabatan kami. Perlahan setiap minggunya kamipun jarang seharian bersama. Terhitung dari bada azar hingga magrib kami bersama. Itupun kalau salah seorang di antara kami ada kegiatan saat jam 4 sorepun bubar seketika. Waktu yang seminim itupula aku jadikan sebagai waktu istimewa dengan mereka. Namun terkadang saat kami bersama, widia selalu saja menanyakan soal Pandu. Mereka terlihat asik sekali membahas tentang Pandu yang tampan, penghapal quran dan pandai. Pernah suatu ketika mereka berebut foto yang berhasil diambil Lia saat ujian akhir madrasah berlasung.  Ketika itu teknologi belum merambahi kami. Tak ada whatApp ataupun grub maya seperti saat ini. Berkirim surat kadang kami lakukan. Hanya mengandalkan telepon jadul yang menjadi jembatan penghubung kami.
Waktu bergulir begitu cepat hingga 3 tahun masa putih birupun tamat. Persahabatan kami masih sama dan kami memutuskan tuk memilih almamater yang sama. Di SMA 1 ketanten salah satu sekolah terfavorit di kota kami. Memasuki masa putih abu tak disangka kami masuk di kelas yang sama. Awalnya aku sebangku dengan Widia, namun aku tak ingin ada jarak dengan Lia. Akhirnya kamipun memutuskan untuk tidak satu bangku melainkan kami duduk berderet dengan kawan lain. Setelah Lia keluar dari Ponpes dia terlihat lebih fresh dan semakin gila dengan olahraga. Saat di ponpes memang ada batasan yang membuat Lia tertekan dan tak menjadi dirinya sendiri. Kali ini dia ingin memanfaatkan masa SMA untuk mempersiapkan dirinya mengikuti seleksi  polisi wanita.  
Mulai dari tahun pertama hingga tahun terakhir di SMA tidak jauh berbeda. Sama saja, seperti Widia yang dari awal hingga akhir langgeng bersama Dani. Lia yang dari awal hingga akhir masih sama semangatnya menjadi polisi wanita. Dan aku yang dari awal hingga akhir tak ada perubahan selain kata jomblo jadi sematan dalam diri. Saat masa terakhir inilah kami sudah mencari jalan hidup sendiri/ sudah tidak ada kata – kata, aku ikut kamu lah aku mau sama kamulah. Iya karena impian kita berbeda. Tentunya harus ada pengorbanan mungkin salah satunya persahabatan. Walau sudah jarang bersama namun ikatan jiwa masih terikat kuat. Aku yang sedari awal ingin menjadi akuntan akhirnya benar –benar diterima di salah satu sekolah keuangan milik kedinasan. Lia yang sedang memulai seleksi menjadi polisi dan Widia yang hampir mau nikah saja karena ditolak sana – sini dari perguruan tinggi. Tapi akhirnya dia diterima lewat jalur mandiri di salah satu perguruan negeri.
Selama kuliahpun kami berpencar. Aku masih stay di Jakarta. Lia yang sudah ditugaskan di Papua dan widia yang kuliah di Yogyakarta. Kami hanya bisa kumpul saat lebaran saja. Selebihnya hanya berkirim pesan di sosial media. Cerita – cerita merekalah yang selalu kunanti. Terkadang saat bersama mereka kami bisa seharian di kamar widia. Menceritakan mulai dari hal sepele, lelucon hingga pasangan impian. “ Eh tau nggak gue kemarin hampir aja nilang anaknya comedian , ternyata cakep lho. Tapi sayang udah punya pacar.. hmm.. hmm”. Baru kali ini Lia cerita tentang cinta,sepertinya dia sudah mulai lelah dengan kejombloannya. Sautku dalam hati. Berbeda dengan widia yang berhasil meluluhkan hati keponakan sultan.
Empat tahun berlalu dengan indah. Aku berhasil lulus dengan cumlaude dan sudah diterima di perusahaan bonafit di Jakarta. Begitupula dengan Widia yang hampir wisuda dan Lia yang sudah naik jabatan. Kedua orang tuaku juga sudah merengek agar aku mau bertunangan dengan lelaki yang diam – diam sudah dijodohkan denganku sejak lama. Aku tak pernah mengetahuinya karena eyanglah yang menjadi dalang semua ini. Serentak aku berontak tak mau bertunangan denga dia. Walaupun tampan dan kaya raya sekalipun aku tetap tidak suka dengan cara mereka. Hanya demi mempertahankan silsilah keluarga, menjadikan perasaan sebagai korbannya. Ini bukan tentang derajat kebangsawanan yang mengalir pada darahku, tapi karena aku tak ingin menjadi katak dalam tempurung.
Dua bulan setelah wisuda, aku dipanggil eyang untuk menghadap. Sejak saat itulah aku mengetahui semuanya. Ingin teriak rasanya dan tak ingin mengingat – ingatnya. Selama satu minggu di solo aku dikenalkan dengannya. Muhammad Seno Subroto silsilah kesultanan Yogyakarta harus meminang salah satu silsilah kesultanan Surakarta. Dan yang menjadi korban adalah aku. Karena aku putri tunggal dari ayahku yang sama – sama berdarah biru. “Dulu ayah dan ibu juga mengalami perjodohan nduk, lihat mereka nampak bahagia bukan. Apalagi memiliki gadis sepertimu. Tak selamanya perjodohan itu menimbulkan luka. Jadi saran eyang kamu kenalan dulu ya.” Omongan eyang tak dapat terbantahkan oleh siapapun . Apalagi aku, cucu tunggalnya yang sangat menyayanginya. Perkenalan itu tak dapat terhindarkan . Kami saling bertukar pesan, selalu dalam pengawasan saat ketemuan. Hingga aku dan seno memantapkan hati melangkahkan kaki menuju pernikahan suci. Memang awalnya karena dipaksa tapi setelah kami pendekatan muncul rasa diantara kita dengan visi dan misi yang sama.
Diwaktu lain widia datang dengan hati yang hancur berkeping – keping. Selain gagal wisuda di tahun ini ternyata dia ditinggalkan kekasihnya begitu saja. Aku mencoba menenangkan hatinya memberikan motivasi sekaligus kabar gembira, kalau dua minggu lagi aku akan menikah dengan pria yang dijodohkan eyangku. Sontak widia yang sedari tadi  mencucurkan air mata kini menatapku bahagia. Dia memintaku untuk menceritakan perjodohannya. Namun, saat aku menyebut nama Muhammadi Seno Subrota seketika wajah pucat nampak padanya. “ Apa vi, Seno Sulistyo?” entah mengapa widia tercengang saat aku menyebut namanya. “ Iya wid. Jadi kami itu ternyata sudah dijodohkan sejak lama dilihat dari weton jawa. Aku juga ngga nyangka. Aku jadi korban eyang  juga” jelasku semcam itu. “ Selamat deh vi, kamu udah berhasil ambil dia dari aku” widia menutup curhatannya dengan kata semacam itu. Akhirnya aku baru sadar kalau Seno ternyata kekasih yang telah meninggalkannya untuk menikah denganku. Tapi aku tak mampu berbuat apapun. Semua sudah terjadi, undangan sudah disebar. Semua akan kacau kalau aku membatalkan sepihak. Tapi apa daya aku harus melakukannya. Karena persahabatan kami yang jadi taruhannya.
Saat itulah aku meminta Seno untuk mengejar Widia yang ternyata cinta pertamanya. Dan meninggalkan aku beserta semua rencana pernikahan kami. Aku memohon ampun kepada eyang atas semua yang aku lakukan. Tapi eyang malah bangga denganku, membiarkan dia bahagia bersama wanita pujaannya. Dan akhirnya aku memutuskan lenyap dari ibu kota, berharap bertemu pujaan hati dilain kota.


Yogyakarta, 23 November 2018



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Jurnal

REVIEW 2 ARTIKEL JURNAL TEORI KEBUDAYAAN Disusun oleh : Ch...