Minggu, 04 November 2018

Teras Sastra



Lorong Dormitory

Image result for kartun gadis mengaji

Dibaris waktu terakhir sebelum fajar menghampiri. Lantunan azan lail menerka ditelinga hingga kucoba buka mata melirik jam yang masih setia pada angka dua.  Berat rasanya membuka mata menghadap sang pencipta. Namun sekiranya Tuhan tak pernah berdusta akan janjinya. Perlahan kucoba membuka mata dengan tatapan sayu menuju tempat wudhu. Kubuka pintu nampak sepatu berjajar rapi menjadi satu. Ujung jari menyibak lantai terasa dingin menembus tulang. Melewati pintu satu persatu yang berjajar simetris dengan mode yang sama ditiap sisi. Sesampainya kubasuhi raga ini dengan air wudhu. Tak lama kuberanjak pergi menuju bilik bamboo ditengah bangunan ini. Melakukan tujuh rakaat diselingi selawat membuat hati tentram nan syahdu. Doa tengah malam yang kupanjatkan biarlah hanya aku dan sang kuasa yang tau. Entah nama seseorang atau impian besar yang tak henti kupanjatkan.
***
Aku, Rina dan Siska selalu memburu sunnah diawal fajar. Tak perlu susah payah membujuk kami untuk melangkahkan kaki menuju tempat sembahyang. Prinsip kami berhasil meraih dua rakaat diawal fajar  memberikan kenikmatan tersendiri. Bukan harta ataupun tahta yang kupinta, tapi keberkahan hidup yang kudamba. Pagi hari setiap santri wajib ceramah di depan Jemaah.  kali ini bukan giliranku, tapi belum tau esok hari.  Hampir semua santri berpakaian syar’i sesuai ajaran islami. Hanya beberapa santri yang masih beradaptasi dengan kondisi pesantren yang semacam ini. Gemuruh kalam illahi memenuhi masjid dan saling bersautan antar santri. Sekejap kututup mata meresapi makna lembaran tiap lembaran yang menggetarkan hati. Memang aku tak tau arti ataupun dapat memahami isi kalam ini, tapi setidaknya dengan melantunkan ayat-ayat ini kumampu memahami pesan sang llahi.
Hafalan qur’an dan hadis menjadi sarapan wajib santriwan maupun santriwati. Bukan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan ikan asin.  Tapi inilah pengorbanan seorang hamba yang mengharapkan surganya. Mungkin hanya firasatku yang diburu bayangan masa depan. Merasakan gerak gerik bayangan yang mengikuti. Sudah dua pekan ini aku merasakan ada sesok yang mengamati dari kejauhan. Setiap ku bangun dan pergi dari tempat sembahyang selalu saja bayangan itu pudar. Entah siapa dan mengapa hal ini terjadi.
 Meninggalkan kewajiban sebagai mahasantri dan berganti diri menjadi mahasiswi. Kampus, tugas maupun organisasi sudah jadi santapan setiap hari. Tak pernah kukeluhkan kewajiban ini demi menyandang gelar di belakang nama.  Aku sebisa mungkin memanfaatkan waktu yang ada agar semua kegiatanku berjalan pada semestinya. “ Ra, kamu  masuk jam berapa nanti ?”. Secara tiba-tiba tanpa ketukan dan salam, pintupun terbuka bersamaan masuknya siska ke kamarku. “ Astagfirullah sis, tak kira kucing yang masuk.. Kamu kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu, sama jangan lupa ucapkan salam ya !. sunnah Nabi lho.. ” Tegurku secara halus pada siska yang tak lain tetangga kamarku. “ Hehehe… Maafin yak.. Kamu sejak kapan minta kiriman bunga melati ra? ” siska menunjukkan sekantong melati yang terbungkus rapi di pintu luar kamar. “ Melati apaan sih sis? Kamukan tau aku paling ngga suka sama yang namanya bunga –bungaan. Apalagi melati. Horror sekali” ketusku pada siska yang setia mengingatkan jam makan. Aku tuangkan bunga itu ke tempat sampah depan kamar, tapi ada yag mengganjal saat satu persatu bunga itu jatuh menyentuh tanah. Selembar kertas yang digulung dengan pita menjadi penghambat bunga – bunga. Aku coba buka dan menerka kata – kata itu yang nampak mirip saja – sajak tua. 
Sejak hari itu hampir dua hari sekali nampak barang – barang aneh terdampar di depan kamar. Namun, selalu ada sebait kata pada selembar kertas yang digulung dengan pita dan jika digabungkan dengan kata – kata sebelumnya mampu menjadi sebuah cerita. Aku tak tau siapa pelakunya. Tiap kali aku menyusuri lorong ini terasa ada sesuatu yang mengikuti.  Merasa tak nyaman itu pasti. Tapi aku harus tetap menjalani. Tak perlu takut dan mencoba terbiasa seperti tak pernah terjadi apa – apa di seminggu terakhir ini.  Siska dan Rika dua kawan yang selalu setia mendampingi. Patutlah aku anggap mereka sebagai sahabat sejati. Daripada gundah memikirkan siapa pelakunya, aku lebih baik menyibukkan diri dengan sekelumat tugas maupun organisasi.
 Senja sudah mulai menyapa menggantikan sang surya di barat sana. Tatkala mega merah merekah tergantikan dengan langit sendu yang meredupkan langit biru. Langkah – langkah kaki sudah serentak menuju tempat sembahyang pertanda azan magrib sudah dikumandangkan. Aku berada di shaf terdepan bersama ustazah maupun jemaah lainnya. Lantunan quran dan gerakan shalat ku jalani dengan sekhusu’ mungkin. Namun di sinilah aku merasakan bayangan itu hadir kembali. Seakan lewat dan menatap tajam wajahku. Aku tak dapat mengulik siapa sosok di balik bayangan biru. Hingga salam kuselesaikan dan melanjutkan dengan sunah dua rakaat sebagai pelengkap shalat fardhu.
“ Ra, sini bentar dek” suara itu yang selalu membuatku tertunduk lesu dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan ustazah senior. “ Nah lho tuh Ra, lo dipanggil sesepuh tuh. Siap – siap tutup kuping deh” sindiran Tata menyentil telingaku seakan akan datang badai di siang hari.  
“Assalamu’alaikum, ustazah wati manggil saya?” sapaan pelan untuk membuka pembicaraan dengan ustazah senior di pesantern ini.
“ Iya sini (tangannya melambai memanggilku). Mba dengar kamu akhir – akhir ini dapat terror ya?”.. Aku diam seketika memikirkan kata apa yang pas untuk menjawabnya. “ Ngga tau sih kalau itu terror us, tapi ya memang semacam barang – barang aneh seperti itu” alhasil hanya kata – kata itu yang mampu keluar dari bibir manisku. “ Apa kamu punya musuh Ra ?” sambung ustazah menggali informasi. “ Aku kira semuanya baik – baik saja us. Aku ngga pernah punya musuh ataupun lawan” lanjutku membalas terkaan pada ustazah senior. “ Apa kamu sudah mengecek cctv di pos satpam?. Mba sarankan, kamu harus lebih berhati – hati dalam menjaga diri. Waspada dalam setiap kondisi ya nduk! Ingat Allah dan tingkatkan ibadah. Nanti kalau ada apa – apa jangan risau hubungi mba atau ustazah lainnya ya!”. Runtutuan pertanyaan dan wejangan ustazah senior hanya aku balas dengan senyuman sembari mengucapkan kata iya .ku teringat jika hari ini tidak ada kiriman maka esoknan pasti membawa tanda tanya. 
             Dua hari sekali menjadi hari termistis yang masih kualami hingga kini. Selalu kucoba menerka siapa dalang dibalik pintu. Sudah ada tiga kiriman yang akhirnya kubuang dan tersisa selembar kertas bergulung pita sebagai pesan dari si pengirim berita. Jika dijabarkan secara berturut – turut kiriman itu berupa kembang melati, jilbab marun, jubbah hitam dan esok nanti aku belum tau apa isi kirimannya. Aku beruntung rutinitas menjadi mahasantri dan mahasiswi membuatku tak punya waktu memikirkan hal seaneh itu. Jika aku mendapatkan kiriman lagi akan segera kubuang atau kuberikan pada rina dan siska.  Malam ini semua terlihat sibuk mempersiapkan agenda esok hari. Mulai dari ustazah senior hingga santriwan maupun santriwati lihir mudik menata ruang haflah akhirussanah. Aku sendiri kebagian menata konsumsi bersama Linda dan Nuri. Setiap kotak kami susun dengan rapi sesuai jumlah santri, tamu undangan hingga tamu agung seperti mudir dan rektor kami bedakan.
Kupindahkan bingkisan – bingkisan untuk santri berprestasi ke dalam ruang yang strategis di samping panggung acara. Kuangkat perlahan dan bergantian dengan Linda. Mengangkatnya harus pelan karena berisi piala yang terbuat dari kaca. Disamping itu keriwehan yang terjadi benar – benar membuat keadaan tak kondusif. Ada yang ribut sendiri menata kursi, bercanda gurau menata dekorasi. Begitupula denganku yang menata bingkisan berharga , terlihat seseorang berlari dan semakin laju hingga menimpa diriku yang tengah membawa bingkisan terakhir santri. Dugg.. Plak.. Pyar.. aku jatuh terpingkal dan semua yang kubawa pecah tak tersisa. “Sory ukh, ana ngga sengaja”. Dia membantuku menata serpihan kaca agar tak melukai lainnya. “ Nanti biar ana yang ganti ke ustazah senior. Ana permisi dulu ukh. Sekali lagi maaf ya. Asslamu’alaikum.” Tutupnya dengan berlalu meninggalkanku. Saat itu ku belum sempat melihat wajahnya karena focus mengais sisa – sisa kaca.  Hanya melihat sobekan kecil di celana yang terlihat tak asing di mata. Aku tak sanggup mengikuti langkah kaki itu.  
Acara akan segera dimulai dan semua santri wajib hadir di acara sacral ini. Aku masih sibuk mengecek kembali bingkisan santri agar tak ada yang tertinggal walau satu biji. Kuhitung kembali dengan teliti berharap semua sudah ready. Namun ada satu bingkisan yang mencuri perhatianku. Kardusnya berwarna tak sama dan terlihat besar diantara bingkisan lainnya. Ku ciba meraih dan ku chek kembali. Siapa tau itu bingkisan untuk tamu undangan ataupun rector. Tapi baru saja kubalik tertera tulisan to : Rara Amelia bidadari surga. . Serentak bulu kudukku berdiri dan nafasku tak terkendali. Ku tengok kanan kiri namun tak ada tanda orang yang kucari. Aku memberanikan diri membukanya. Benar saja kiriman anaeh yang tadi pagi tak hadir di depan pintu kini berpindah diacara haflah akhirussanah. Dan isi bingkisan malam ini berupa cicin hitam berlafazkan al – quran. Sungguh ingin sekali kubertemu dan meminta semua pengakuan ini mengapa tega menerorku disetiap waktu. Hampir ingin kubuang bingkisan ini namun aku melihat sepucuk surat berisi Jika kau ingin tau maka temui aku dibaris waktu. “ Hmm… apa coba baris waktu itu ? apa mungkin halaman luar yang ada tower jamnya ya ?” pikirku semacam itu dan mencoba berlalu dan membaur diacara terakhir masa santriku.
Aku akhirnya benar – benar datang dibaris waktu untuk bertemu dengan sosok misterius yang membayangiku. Berjalan sendiri menapaki jalanan sepi di pinggir dormitory. Ku langkahkan kaki sedikit demi sedikit dan terlihat ceceran bunga yang membawaku pada satu titik melihat sesosok bayangan yang kini jadi nyata. Tingginya sebahuku dengan jubbah merekah ditambah jilbab menjuntai yang melilit kepalanya. Tapi aku masih ragu kalau itu dia.
“ Assalamu’alaikum ukhti Rara, senang berjumpa kembali denganmu” sosok itu menyapaku dengan lembut. Ku mencoba mendekatinya hingga ku tau siapa dia. Iya, dia tak lain dan tak bukan adalah santri kakak tingkatku. Tapi mengapa dia menerorku ? Apa salahku padanya? Semua pertanyataan itu menggerutu di otakku. “ Wa’alaikumusslam ukhti Fira. Jadi.. ” belum juga aku teruskan bicaraku dia sudah memotongnya. “ Iya, aku yang selama ini mengirimkan bingkisan – bingkisan aneh padamu. Kau tau aku sungguh puas melihat wajah lugumu. Tapi kau jangan salah menyangka aku tak bermaksud mengusik hidupmu. Biarkan ku jelaskan semuanya padamu Ra. ” wajah mb Fira terlihat serius menatap wajahku. “ Apa mb? Silahkan jelaskan semua agar aku tak salah mengira” pintaku dengan wajah yang mulai layu karena seharian menata acara haflah. 
“Kau masih ingat dengan kakaku?” kata – kata pembuka rahasia yang semakin membuatku bertanya – tanya . “Iya ms Rahman ” jawabku. “ kau tau ra, dia adalah kakakku satu – satunya. Dia sangat menginginkanmu menjadi bidadari surganya setelah dua kali berpapasan denganmu. Tapi dia kini buruk rupa dan cacat badannya. Dia malu meminangmu karena takut akan ditolak mentah -  mentah. Dia memintaku untuk mendekatimu tapi dengan isyarat yang penuh makna dan misteri. Apakah kau tau makna kiriman dan pesan yang kukirimkan selama ini?” tanyanya padaku. “ Entah aku tak paham maknanya mb” jelasku pada seorang wanita yang berdiri dihadapnku.  “ harusnya kau tau Ra, melati itu melambangkan cinta suci. Jilbab maroon melambangkan keberanian cinta, jubbah hitam melambangkan cinta yang begitu dalam melekat pada jiwa dan cincin hitam melambangkan pinangan seorang”
“ Sudah jangan kau lanjutkan lagi mb, aku sudah mengerti maksudmu. Tapi mengapa jika cinta malah membuatku menderita. Aku ketakutan setiap membuka kiriman itu. Dan sampaikan permohonan maafku. Kalau saat ini aku hanya ingin focus pada study dan karierku. ” tutupku dengan mata sayu. “ Tapi Ra, dia akan setia menunggumu.” Pinta mb Fira sebelum kumelangkan kaki untuk bergegas pulang. “ Jika kami berjodoh pasti akan bersatu mb. Walaupun aku berada diujung benua dan ms rahman diujung samudera sekalipun kami pasti bersatu. Akan aku jaga barang – barang pemberiannya sebagai penghormatanku. Dan sampaikan salam dan permohonan ku padanya”. Aku melangkahkan kaki dengan tenang untuk mengakhiri pembicaraan malam ini. 


 ~ Lorong Dormitory ~



Review Jurnal

REVIEW 2 ARTIKEL JURNAL TEORI KEBUDAYAAN Disusun oleh : Ch...