Lorong Dormitory
Dibaris waktu terakhir sebelum fajar menghampiri. Lantunan azan
lail menerka ditelinga hingga kucoba buka mata melirik jam yang masih setia
pada angka dua. Berat rasanya membuka
mata menghadap sang pencipta. Namun sekiranya Tuhan tak pernah berdusta akan
janjinya. Perlahan kucoba membuka mata dengan tatapan sayu menuju tempat wudhu.
Kubuka pintu nampak sepatu berjajar rapi menjadi satu. Ujung jari menyibak lantai
terasa dingin menembus tulang. Melewati pintu satu persatu yang berjajar
simetris dengan mode yang sama ditiap sisi. Sesampainya kubasuhi raga ini
dengan air wudhu. Tak lama kuberanjak pergi menuju bilik bamboo ditengah
bangunan ini. Melakukan tujuh rakaat diselingi selawat membuat hati tentram nan
syahdu. Doa tengah malam yang kupanjatkan biarlah hanya aku dan sang kuasa yang
tau. Entah nama seseorang atau impian besar yang tak henti kupanjatkan.
***
Aku, Rina dan Siska selalu memburu sunnah diawal fajar. Tak perlu
susah payah membujuk kami untuk melangkahkan kaki menuju tempat sembahyang. Prinsip
kami berhasil meraih dua rakaat diawal fajar memberikan kenikmatan tersendiri. Bukan harta
ataupun tahta yang kupinta, tapi keberkahan hidup yang kudamba. Pagi hari
setiap santri wajib ceramah di depan Jemaah. kali ini bukan giliranku, tapi belum tau esok
hari. Hampir semua santri berpakaian
syar’i sesuai ajaran islami. Hanya beberapa santri yang masih beradaptasi
dengan kondisi pesantren yang semacam ini. Gemuruh kalam illahi memenuhi masjid
dan saling bersautan antar santri. Sekejap kututup mata meresapi makna lembaran
tiap lembaran yang menggetarkan hati. Memang aku tak tau arti ataupun dapat
memahami isi kalam ini, tapi setidaknya dengan melantunkan ayat-ayat ini
kumampu memahami pesan sang llahi.
Hafalan qur’an dan hadis menjadi sarapan wajib santriwan maupun
santriwati. Bukan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan ikan asin. Tapi inilah pengorbanan seorang hamba yang
mengharapkan surganya. Mungkin hanya firasatku yang diburu bayangan masa depan.
Merasakan gerak gerik bayangan yang mengikuti. Sudah dua pekan ini aku
merasakan ada sesok yang mengamati dari kejauhan. Setiap ku bangun dan pergi
dari tempat sembahyang selalu saja bayangan itu pudar. Entah siapa dan mengapa
hal ini terjadi.
Meninggalkan kewajiban
sebagai mahasantri dan berganti diri menjadi mahasiswi. Kampus, tugas maupun
organisasi sudah jadi santapan setiap hari. Tak pernah kukeluhkan kewajiban ini
demi menyandang gelar di belakang nama. Aku
sebisa mungkin memanfaatkan waktu yang ada agar semua kegiatanku berjalan pada
semestinya. “ Ra, kamu masuk jam berapa
nanti ?”. Secara tiba-tiba tanpa ketukan dan salam, pintupun terbuka bersamaan
masuknya siska ke kamarku. “ Astagfirullah sis, tak kira kucing yang masuk..
Kamu kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu, sama jangan lupa ucapkan salam ya !.
sunnah Nabi lho.. ” Tegurku secara halus pada siska yang tak lain tetangga
kamarku. “ Hehehe… Maafin yak.. Kamu sejak kapan minta kiriman bunga melati ra?
” siska menunjukkan sekantong melati yang terbungkus rapi di pintu luar kamar.
“ Melati apaan sih sis? Kamukan tau aku paling ngga suka sama yang namanya bunga
–bungaan. Apalagi melati. Horror sekali” ketusku pada siska yang setia
mengingatkan jam makan. Aku tuangkan bunga itu ke tempat sampah depan kamar,
tapi ada yag mengganjal saat satu persatu bunga itu jatuh menyentuh tanah.
Selembar kertas yang digulung dengan pita menjadi penghambat bunga – bunga. Aku
coba buka dan menerka kata – kata itu yang nampak mirip saja – sajak tua.
Sejak hari itu hampir dua hari sekali nampak barang – barang aneh
terdampar di depan kamar. Namun, selalu ada sebait kata pada selembar kertas
yang digulung dengan pita dan jika digabungkan dengan kata – kata sebelumnya
mampu menjadi sebuah cerita. Aku tak tau siapa pelakunya. Tiap kali aku
menyusuri lorong ini terasa ada sesuatu yang mengikuti. Merasa tak nyaman itu pasti. Tapi aku harus
tetap menjalani. Tak perlu takut dan mencoba terbiasa seperti tak pernah
terjadi apa – apa di seminggu terakhir ini.
Siska dan Rika dua kawan yang selalu setia mendampingi. Patutlah aku
anggap mereka sebagai sahabat sejati. Daripada gundah memikirkan siapa pelakunya,
aku lebih baik menyibukkan diri dengan sekelumat tugas maupun organisasi.
Senja sudah mulai menyapa
menggantikan sang surya di barat sana. Tatkala mega merah merekah tergantikan
dengan langit sendu yang meredupkan langit biru. Langkah – langkah kaki sudah
serentak menuju tempat sembahyang pertanda azan magrib sudah dikumandangkan. Aku
berada di shaf terdepan bersama ustazah maupun jemaah lainnya. Lantunan quran
dan gerakan shalat ku jalani dengan sekhusu’ mungkin. Namun di sinilah aku
merasakan bayangan itu hadir kembali. Seakan lewat dan menatap tajam wajahku.
Aku tak dapat mengulik siapa sosok di balik bayangan biru. Hingga salam
kuselesaikan dan melanjutkan dengan sunah dua rakaat sebagai pelengkap shalat
fardhu.
“ Ra, sini bentar dek” suara itu yang selalu membuatku tertunduk
lesu dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan ustazah senior. “ Nah lho tuh Ra, lo
dipanggil sesepuh tuh. Siap – siap tutup kuping deh” sindiran Tata menyentil
telingaku seakan akan datang badai di siang hari.
“Assalamu’alaikum, ustazah wati manggil saya?” sapaan pelan untuk
membuka pembicaraan dengan ustazah senior di pesantern ini.
“ Iya sini (tangannya melambai memanggilku). Mba dengar kamu akhir
– akhir ini dapat terror ya?”.. Aku diam seketika memikirkan kata apa yang pas
untuk menjawabnya. “ Ngga tau sih kalau itu terror us, tapi ya memang semacam
barang – barang aneh seperti itu” alhasil hanya kata – kata itu yang mampu
keluar dari bibir manisku. “ Apa kamu punya musuh Ra ?” sambung ustazah
menggali informasi. “ Aku kira semuanya baik – baik saja us. Aku ngga pernah
punya musuh ataupun lawan” lanjutku membalas terkaan pada ustazah senior. “ Apa
kamu sudah mengecek cctv di pos satpam?. Mba sarankan, kamu harus lebih berhati
– hati dalam menjaga diri. Waspada dalam setiap kondisi ya nduk! Ingat Allah
dan tingkatkan ibadah. Nanti kalau ada apa – apa jangan risau hubungi mba atau
ustazah lainnya ya!”. Runtutuan pertanyaan dan wejangan ustazah senior hanya
aku balas dengan senyuman sembari mengucapkan kata iya .ku teringat jika hari
ini tidak ada kiriman maka esoknan pasti membawa tanda tanya.
Dua hari sekali menjadi hari termistis yang
masih kualami hingga kini. Selalu kucoba menerka siapa dalang dibalik pintu.
Sudah ada tiga kiriman yang akhirnya kubuang dan tersisa selembar kertas
bergulung pita sebagai pesan dari si pengirim berita. Jika dijabarkan secara
berturut – turut kiriman itu berupa kembang melati, jilbab marun, jubbah hitam
dan esok nanti aku belum tau apa isi kirimannya. Aku beruntung rutinitas
menjadi mahasantri dan mahasiswi membuatku tak punya waktu memikirkan hal
seaneh itu. Jika aku mendapatkan kiriman lagi akan segera kubuang atau
kuberikan pada rina dan siska. Malam ini
semua terlihat sibuk mempersiapkan agenda esok hari. Mulai dari ustazah senior
hingga santriwan maupun santriwati lihir mudik menata ruang haflah
akhirussanah. Aku sendiri kebagian menata konsumsi bersama Linda dan Nuri. Setiap
kotak kami susun dengan rapi sesuai jumlah santri, tamu undangan hingga tamu
agung seperti mudir dan rektor kami bedakan.
Kupindahkan bingkisan – bingkisan untuk santri berprestasi ke dalam
ruang yang strategis di samping panggung acara. Kuangkat perlahan dan
bergantian dengan Linda. Mengangkatnya harus pelan karena berisi piala yang
terbuat dari kaca. Disamping itu keriwehan yang terjadi benar – benar membuat
keadaan tak kondusif. Ada yang ribut sendiri menata kursi, bercanda gurau
menata dekorasi. Begitupula denganku yang menata bingkisan berharga , terlihat seseorang
berlari dan semakin laju hingga menimpa diriku yang tengah membawa bingkisan
terakhir santri. Dugg.. Plak.. Pyar.. aku jatuh terpingkal dan semua
yang kubawa pecah tak tersisa. “Sory ukh, ana ngga sengaja”. Dia membantuku
menata serpihan kaca agar tak melukai lainnya. “ Nanti biar ana yang ganti ke
ustazah senior. Ana permisi dulu ukh. Sekali lagi maaf ya. Asslamu’alaikum.”
Tutupnya dengan berlalu meninggalkanku. Saat itu ku belum sempat melihat
wajahnya karena focus mengais sisa – sisa kaca.
Hanya melihat sobekan kecil di celana yang terlihat tak asing di mata.
Aku tak sanggup mengikuti langkah kaki itu.
Acara akan segera dimulai dan semua santri wajib hadir di acara
sacral ini. Aku masih sibuk mengecek kembali bingkisan santri agar tak ada yang
tertinggal walau satu biji. Kuhitung kembali dengan teliti berharap semua sudah
ready. Namun ada satu bingkisan yang mencuri perhatianku. Kardusnya
berwarna tak sama dan terlihat besar diantara bingkisan lainnya. Ku ciba meraih
dan ku chek kembali. Siapa tau itu bingkisan untuk tamu undangan ataupun
rector. Tapi baru saja kubalik tertera tulisan to : Rara Amelia bidadari
surga. . Serentak bulu kudukku berdiri dan nafasku tak terkendali. Ku
tengok kanan kiri namun tak ada tanda orang yang kucari. Aku memberanikan diri
membukanya. Benar saja kiriman anaeh yang tadi pagi tak hadir di depan pintu
kini berpindah diacara haflah akhirussanah. Dan isi bingkisan malam ini berupa
cicin hitam berlafazkan al – quran. Sungguh ingin sekali kubertemu dan meminta
semua pengakuan ini mengapa tega menerorku disetiap waktu. Hampir ingin kubuang
bingkisan ini namun aku melihat sepucuk surat berisi Jika kau ingin tau maka
temui aku dibaris waktu. “ Hmm… apa coba baris waktu itu ? apa mungkin
halaman luar yang ada tower jamnya ya ?” pikirku semacam itu dan mencoba
berlalu dan membaur diacara terakhir masa santriku.
Aku akhirnya benar – benar datang dibaris waktu untuk bertemu
dengan sosok misterius yang membayangiku. Berjalan sendiri menapaki jalanan
sepi di pinggir dormitory. Ku langkahkan kaki sedikit demi sedikit dan
terlihat ceceran bunga yang membawaku pada satu titik melihat sesosok bayangan
yang kini jadi nyata. Tingginya sebahuku dengan jubbah merekah ditambah jilbab
menjuntai yang melilit kepalanya. Tapi aku masih ragu kalau itu dia.
“ Assalamu’alaikum ukhti Rara, senang berjumpa kembali denganmu”
sosok itu menyapaku dengan lembut. Ku mencoba mendekatinya hingga ku tau siapa
dia. Iya, dia tak lain dan tak bukan adalah santri kakak tingkatku. Tapi
mengapa dia menerorku ? Apa salahku padanya? Semua pertanyataan itu menggerutu
di otakku. “ Wa’alaikumusslam ukhti Fira. Jadi.. ” belum juga aku teruskan
bicaraku dia sudah memotongnya. “ Iya, aku yang selama ini mengirimkan
bingkisan – bingkisan aneh padamu. Kau tau aku sungguh puas melihat wajah
lugumu. Tapi kau jangan salah menyangka aku tak bermaksud mengusik hidupmu.
Biarkan ku jelaskan semuanya padamu Ra. ” wajah mb Fira terlihat serius menatap
wajahku. “ Apa mb? Silahkan jelaskan semua agar aku tak salah mengira” pintaku
dengan wajah yang mulai layu karena seharian menata acara haflah.
“Kau masih ingat dengan kakaku?” kata – kata pembuka rahasia yang
semakin membuatku bertanya – tanya . “Iya ms Rahman ” jawabku. “ kau tau ra,
dia adalah kakakku satu – satunya. Dia sangat menginginkanmu menjadi bidadari
surganya setelah dua kali berpapasan denganmu. Tapi dia kini buruk rupa dan
cacat badannya. Dia malu meminangmu karena takut akan ditolak mentah - mentah. Dia memintaku untuk mendekatimu tapi
dengan isyarat yang penuh makna dan misteri. Apakah kau tau makna kiriman dan
pesan yang kukirimkan selama ini?” tanyanya padaku. “ Entah aku tak paham
maknanya mb” jelasku pada seorang wanita yang berdiri dihadapnku. “ harusnya kau tau Ra, melati itu melambangkan
cinta suci. Jilbab maroon melambangkan keberanian cinta, jubbah hitam
melambangkan cinta yang begitu dalam melekat pada jiwa dan cincin hitam
melambangkan pinangan seorang”
“ Sudah jangan kau lanjutkan lagi mb, aku sudah mengerti maksudmu.
Tapi mengapa jika cinta malah membuatku menderita. Aku ketakutan setiap membuka
kiriman itu. Dan sampaikan permohonan maafku. Kalau saat ini aku hanya ingin
focus pada study dan karierku. ” tutupku dengan mata sayu. “ Tapi Ra,
dia akan setia menunggumu.” Pinta mb Fira sebelum kumelangkan kaki untuk
bergegas pulang. “ Jika kami berjodoh pasti akan bersatu mb. Walaupun aku
berada diujung benua dan ms rahman diujung samudera sekalipun kami pasti
bersatu. Akan aku jaga barang – barang pemberiannya sebagai penghormatanku. Dan
sampaikan salam dan permohonan ku padanya”. Aku melangkahkan kaki dengan tenang
untuk mengakhiri pembicaraan malam ini.
~ Lorong Dormitory ~