Rabu, 27 Februari 2019

Teras Sastra,Terkadang Nekat Itu Perlu.


Tujuh Wanita Pengembara



Kabut tebal menyelimuti senja kali ini. Hiruk pikuk kampung telah terbelenggu akan dinginya kabut yang menjemput. Gemericik air yang jatuh di bejana membuat telinga tentram seketika. Suasana alam yang kental akan budaya masih terjaga dengan apik. Tak  banyak kegiatan yang dapat dilakukan ketika kabut mulai turun. Hanya ada segelintir orang yang tengah membersihkan pelataran rumah dari ilalang liar. Menghadapi cuaca yang tak tentu ini mungkin dengan secangkir teh hangat mampu menghangatkan tubuh. Canda tawaku pecah saat memulai pembicaraan masa lampau yang penuh kenangan. Namun, berbeda dengan ibu surti yang hanya tertunduk diam sembari menangkis tangis yang membasahi pipinya. Pandangan kami tertuju pada sebuah foto keluarga yang terpajang di ruang tamu. Bu surti tak mampu berkata apapun hanya membisu dan beranjak dari gerumunan tamu.

Ada luka yang tak mampu terbayar dengan jutaan harta maupun tingginya tahta ialah sebuah nyawa. Inilah naluri seorang ibu kepada putri bungsunya yang telah lama menghadap pencipta-Nya. Namun bu Surti mampu tegar menerima dan tak ingin seorangpun bernasip sama dengan bungsunya. Kami menatap wajah bu surti yang mulai nampak kerutan dikeningnya, matanya mulai sembam tergenang air mata yang tak mampu dibendungnya. Sejenak kami terdiam mengingat sebuah perjalanan panjang yang usai kami lewati. 

Liburan telah tiba menandakan waktunya rehat sejenak dari sekelumat aktivitas. Agenda sudah kami ranjang dengan matang jauh sebelum ujian akhir semester ini. Menyatukan tujuh kepala itu membutuhkan waktu yang lama. Banyak keingan dari mereka tapi kami hanya bisa menentukan satu pilihan yang dianggap tepat dan mewakili semuanya. Akhirnya kami putuskan untuk muncak ke pegunungan tertinggi di jawa. Sebelum hari keberangkatan kami pastikan semua barang persediaan sudah sempurna. Mulai dari selimut hingga makanan pokok sebagai bekal perjalanan. Kami tidak seperti pendaki expret yang membawa tas ransel berisi tenda. Tas kami bisa dilihat hanya berisikan mie instan dan kudapan ringan. Iya itulah kami yang selalu mencari mushola atau masjid sebagai tempat yang meneduhkan. Salah satu langkah untuk liburan murah.

Perjalan panjang kami diawali dengan keluar dari kota istimewa menuju kota tembakau dengan melewati magelang dan sekitarnya. Menggunakan sepeda motor dengan saling berboncengan menjadi transportasi andalan. Awal tujuan kami hanya ingin melihat lampion di malam hari kemudian pergi di pagi hari. Tapi sekali lagi realita tak seindah rencana. Gerimis menyapa kami dari pintu keluar jogja hingga memasuki pinggiran magelang.  Tapi itu masih dapat kami halau dengan jas hujan. Sudah hampir seperempat perjalanan dan bahan bakar mulai berkurang. Kami putuskan berhenti disalah satu SPBU yang terdapat fasilitas mushola. “ Lumayan lha ya bisa meluruskan kaki. Sambil nunggu hujan reda” tutur sari wanita paling berisi diantara kami. “ Masih lama nggak sih.. aku udah pegel banget nih. Pingin balik aja sumpah ngga kuat aku tuh” lagi – lagi Ria mengeluh, hanya dialah satu – satunya yang terlihat lemah diantara yang lain mulai dari kondisi fisik hingga mentalnya. “ Sabar Ri, 3 jam lagi kita akan sampai dan terbayar dengan indahnya pemandangan” setidaknya dengan ucapanku memberikan ketenangan padanya.

Perjalanan kami lanjutkan dengan bertukar posisi. Yang sedari tadi menjadi joki kini berganti. Aku bergantian dengan Erina yang nampak keletihan setelah menerjang hujan. Kami saling beruntutan disepanjang jalan dengan dipimpin Rima sebagai penunjuk jalan. Kali ini medan yang kami lalui memang tak berkelak – kelok melainkan jalanan landai dengan jurang di sebrang jalan. Jika terjatuh maka tak terlihat wujudnya. Konsentrasiku buyar saat merasakan ada yang mengganjal di ban belakang. Benar saja sejauh satu meter ban belakang motorku geal – geol kehilangan kendali dan hanya nampak sebuah paku yang tersangkut di ban ku. Aku berhenti dan meneriaki semua kawananku. “ Woy.. Ban ku kempes. Stop... Stop.” Dua motor berhenti di depanku dengan satu motor yang masih melaju dan berhenti mendadak dua meter dari kami. Maklumlah motor sari sudah rada abnormal seperti orangnya, remnya lemot seperti otaknya.. heheh.. candaku dalam hati. Kami memutuskan untuk membagi tugas. Safa dan Ria kedapatan mencari bengkel motor yang masih buka, Rima dan Tia bertugas membeli kudapan dan bekal untuk malam hari, aku dan Erina bertugas mendorong motor yang kami tumpangi menuju begkel yang letaknya 100 m darisini   sedangkan Sari hanya bisa memandangi sembari membantu doa saja. Karena hanya dialah satu – satunya yang mengendarai motor sendiri. Selain jumlah orang yang ganjil sebenarnya memang motornya tak layak untuk berboncengan.

Selesai motorku ditambal kami memutuskan istirahat sejenak dipelataran masjid sembari melaksanakan sholat asar. Bekal yang kami bawa sebenarnya masih ada dan bisalah untuk sekadar mengganjal lapar. Tapi sayangnya seplastik berisi kudapan dijaga oleh putri jahat tapi jelita. Iya dialah Tia. Satu – satunya  anggota yang berbeda kampus dengan kami. Setelah dirasa semua sudah siap, kami melanjutkan perjalanan yang masih 2 jam lagi. Kami memperkirakan akan sampai di Dieng pukul 18.00 wib jika selama perjalanan mulus dan terkondisi. Disepanjang perjalanan kami disuguhkan hamparan pegunungan dengan aliran sungai yang jernih. Setidaknya itu mampu menjadi dorongan untuk segera sampai ditempat tujuan. Azan magrib sudah berkumandang dan tak baik jika kami melanjutkan perjalanan yang tinggal selangkah lagi. Kami berhenti disalah satu masjid agung di daerah ini. Kami tunaikan shalat magrib dilanjut dengan menjamak shalat isya. Takut – takut kalau nanti tidak menjumpai mushola.

Akhirnya kami sampai di gerbang lautan manusia. Berjajar dengan kacau setiap kendaraan dengan bisingan suara klakson yang saling bersautan. Ditambah hawa dingin yang  menyapa. Aku menghela nafas seketika melihat keadaaan ini. Memang benar realita tak seindah rencana. Jika kami masih bertahan di sini maka festival lampion akan terlewatkan. Tetapi kami sudah terjebak di sini. Maju kena mundur kena, mungkin kata – kata itu yang dapat aku ibaratkan. Ditambah menghilangnya sari dari kerumunan kami. Sudah sinyal langka ditambah kondisi motornya abnormal mengakibatkan kami dirundung gelisah. Hingga Tia dan Erina memutuskan untuk menelusuri lautan manusia dan berharap sari dapat dijumpai. Kami memutuskan berhenti dan menunggu mereka dibawah tower agar mudah memantau gerak – gerik mereka. Benar saja apa yang kami pikirkan akhirnya terjadi. Motor sari kehabisan bahan bakar ditambah dengan signal dan uang yang hilang. Bersyukurlah kami masih dapat berkerumun kembali. Jam sudah menunjukkan pukul Sembilan, itu artinya satu jam lagi lampion akan diterbangkan. Dan benar – benar kami pasrah terjebak di lautan nyawa padahal tiket sudah di tangan. Akhirnya kami harus ikhlas melihat ratusan lampion yang berterbangan menghiasi malam. Dengan saling berpegangan kami saling memandangi satu sama lain.

“ Ahh… Huwaaa.. Duit 100 ku ilang rak guna”. Medhoknya Ria akhinya muncul juga. Satu per satu tangis kami pecah menghiasi malam, sembari menatapi lampion yang semakin meninggi. Akhirnya kami merenungi acara liburan kali ini yang serba medadak dan tanpa restu dari ibu Eriana. Sontak kami tersadarkan bahwa restu orang tualah yang utama. Rima memutuskan untuk mengajak kami mencari penginapan. Namun setelah kami cari – cari tidak ada yang sesuai kantong . Kami putuskan untuk menginap di Masjid yang tak jauh dari lereng si kunir. Sebagai obat gagalnya melihat festival kami putuskan untuk mendaki lereng si kunir yang tak jauh dari masjid yang kami tinggali. Semakin malam hawa dingin semakin setia menyelimuti. Padahal sudah berlapis – lapis kain melumuri tubuh ini. Kami mencoba memejamkan mata dan berharap hari esok membawa bahagia.

            Tepat pukul empat setelah shalat subuh kami putuskan mendaki lereng si kunir. Mengendarai motor menuju pakiran terdekat lereng menjadi salah satu pilihan agar tak menguras banyak tenaga. Jalanan terjal dengan bebatuan keras siap menghadang. Kami saling membantu dan bergantian satu persatu untuk menuju lereng. Kendaraan sudah kami titipkan, kini tinggal melangkah menuju puncak. Sebungkus tumis kentang yang masih panas menjadi santapan pagi sebelum mendaki. Puncak ini memang belum seberapa dibandingkan dengan dua gunung yang sudah aku lalaui sebelumnya. Namun hawa dinginnyalah yang melebihi pendakian sebelumnya. Hampir berkali – kali kami harus berhenti menunggu salah seorang diantara kami yang sejenak beristirahat entah untuk minum atapun sekadar mengambil nafas. Akhirnya setelah 1 jam mendaki dengan medan yang tidak terjal kami berhasil mencapai puncak tertinggi. Namun lagi – lagi realita tak seindah rencana. Setelah kami sampai hanya dapat memandangi hamparan kabut yang menyelimuti gunung maupun tebing. Entah mengapa untuk kedua kalinya kami benar – benar kecewa. Bukan hamparan gunung dan hijaunya ladang yang kami dapatkan, namun kabut tebal yang enggan menghilang dari  pandangan. Tak lama kami dipuncak hanya bersua foto dibalik kabut dan untuk kedua kalinya kami harus kecewa. 

            Hampir tak ada raut gembira diwajah kami. Hanya sari seorang diri yang merasa menikmati perjalanan kali ini. Drett.. drett…kring.. kring  dering telfon datang dari handphone sari yang baru saja terdeteksi signal. Raut mukanya sontak berubah seketika setelah menerima telfon dari orang yang dianggap atasannya. “ Waduh gawat kita harus segera balik ke jogja sekarang. Ada agenda mendadak di kampus. Pak menteri Agama berkunjung dan kita harus menghadiri stadium generalnya” kami diam kebingungan mencari jalan pulang yang mampu membawa sampai di jogja dengan singkat. Padahal kemacetan masih menyelimuti kawasan Dieng. Signal yang susah didapat membuat kami hanya bergantung pada plang jalan saja. “ Tenang sebentar dong. Aku mau tanya warga sekitar dulu. Ada jalan tikus ngga ke jogja biar kita ngga kejebak macet”. Lamanya dialog antara Rima dengan bapak penjaga wisata menghasilkan dua pilihan. Yang pertama kalau kami masih mengikuti jalan raya ini maka akan terjebak macet dan dipastikan  gagal bertemu dengan pak menteri. Dan jalan kedua ini sedikit ekstrim. Kami harus menuruni lereng dengan jalanan setapak yang jaraknya hanya 1 km. Tapi itu dapat dipastikan kita bisa sampai di jogga sebelum asar. Akhirnya dengan bismillah kami siap menghadapi risiko yang ada.  

            Turunan landai dengan jurang dikanan kiri  menjadi medan yang harus kami santap selama perjalanan. Mulai dari bebatuan yang terjal hingga tanah licin dengan semak belukar harus kami lalui. Dan kami tersadar telah berada ditengah – tengah hutan terlarang. Saat itu aku teringat akan cerita bu surti tentah kisah pilu putri bungsunya. Aku sendiri baru menyadari bahwa disekeliling kami hampir sama dengan perkataan bu surti. Nampak pohon besar di kanan kiri jalan dengan bebatuan besar dibawah jurang. Oh sungguh tuhan berikan kami keselamatan agar mampu bertemu dengan bapak ibu dan memohon ampun. Harapan itu aku panjatkan demi keselamatan ini. Ke enam kawanku juga sadar kalau ini bukan jalan untuk pemotor tapi hanya jalan pejalan kaki.  Kami butuh tenaga extra untuk mengendalikan laju motor yang kami tumpangi. Keseimbangan dan kekuatan rem menjadi modal agar sampai di jalan raya. Beruntung sebelum kami berekspedisi semua motor sudah terisi bahan bakar.

 Sudah hampir satu setengah jam kami bergulat dengan jalanan ini tapi tak kunjung melihat tanda – tanda kehidupan. “ Ibu.. Erin mau pulang.. huaaa.. hua.. aku capek. Aku capek..” keluhan itu datang dari erina yang paling manja diantara kami. Dia hanya duduk tertunduk lesu tak mau melanjutkan perjalanan ini. “ Ayo semangat er, bentar lagi kita sampai.” Bujuk rayuan Rima mulai keluar. Akhirnya mereka kami tinggal sebentar agar motor – motor ini cepat sampai ke bawah. Perjalanan awal yang dijanjikan hanya 1 km kami rasa ini perjalanan 10 km. benar – benar sukar. Hampir selama perjalanan tak kami temukan penduduk desa  di dalamnya. Kami butuh mereka karena bekal air minum telah habis. Tak jauh dari tempat kami istirahat sembari menunggu Erina dan Rima yang berjalan kami meluruskan kaki. Dan suara motor triel terdengar mendekati arah kami dan semakin jelas. Benar saja nampak seorang bapak mengendarai motor trielnya dengan dua gadis yang diboncenginya. Keduanya tak lain dan tak bukan adalah rima dan erina. Erina nampak pucat wajahnya dan rima menjelaskan kalau erina sempat pingsan dan untung ada seseorang yang lewat dan mau membantu kami untuk keluar dari hutan ini.

“Bapak sungguh tak menyangka kalian mampu melewati hutan larangan ini. Baru kali ini adas sekawanan gadis dengan motor matic lagi. Biasanya hanya orang pemberanilah yang mampu melewati hutan ini. Jika tak kuat biasanya akan tersesat dan tidak bisa kembali lagi. Bapak salut sama kalian.” Penjelasan panjang kali lebar drai bapak itu membuat kami bersyukur kepada tuhan akan keselamatan yang telah diberikan. “ Mari nak, mampir dulu di rumah bapak sembari bersih diri dan sholat asar” tawaran bapak itu tak mungkin kami tolak. Kami memutuskan untuk mampir sejenak di rumah bapak itu sembari mengisi perut dan bersih diri. Cerita akan hutan larangan itu dilanjutkan kembali oleh bapak dan istrinya sebelum kami bergegas pergi.

Akhirnya setelah perut terisi kami berpamitan pulang menuju kota jogja. Perjalanan pulang tak jauh berbeda dengan perjalanan awal. Bahkan dua motor dari kerumunan kami mengalami pecah ban hingga berkali – kali. Tapi kami masih bersyukur Tuhan masih memberikan keselamatan hingga sampai di kota istimewa.





Yogyakarta, 02 November 2018






Review Jurnal

REVIEW 2 ARTIKEL JURNAL TEORI KEBUDAYAAN Disusun oleh : Ch...