Tujuh Wanita Pengembara
Kabut tebal menyelimuti senja kali ini. Hiruk pikuk kampung telah terbelenggu
akan dinginya kabut yang menjemput. Gemericik air yang jatuh di bejana membuat
telinga tentram seketika. Suasana alam yang kental akan budaya masih terjaga
dengan apik. Tak banyak kegiatan yang
dapat dilakukan ketika kabut mulai turun. Hanya ada segelintir orang yang
tengah membersihkan pelataran rumah dari ilalang liar. Menghadapi cuaca yang
tak tentu ini mungkin dengan secangkir teh hangat mampu menghangatkan tubuh.
Canda tawaku pecah saat memulai pembicaraan masa lampau yang penuh kenangan.
Namun, berbeda dengan ibu surti yang hanya tertunduk diam sembari menangkis
tangis yang membasahi pipinya. Pandangan kami tertuju pada sebuah foto keluarga
yang terpajang di ruang tamu. Bu surti tak mampu berkata apapun hanya membisu
dan beranjak dari gerumunan tamu.
Ada luka yang tak mampu terbayar dengan jutaan harta maupun
tingginya tahta ialah sebuah nyawa. Inilah naluri seorang ibu kepada putri
bungsunya yang telah lama menghadap pencipta-Nya. Namun bu Surti mampu tegar
menerima dan tak ingin seorangpun bernasip sama dengan bungsunya. Kami menatap
wajah bu surti yang mulai nampak kerutan dikeningnya, matanya mulai sembam
tergenang air mata yang tak mampu dibendungnya. Sejenak kami terdiam mengingat
sebuah perjalanan panjang yang usai kami lewati.
Liburan telah tiba menandakan waktunya rehat sejenak dari sekelumat
aktivitas. Agenda sudah kami ranjang dengan matang jauh sebelum ujian akhir
semester ini. Menyatukan tujuh kepala itu membutuhkan waktu yang lama. Banyak
keingan dari mereka tapi kami hanya bisa menentukan satu pilihan yang dianggap
tepat dan mewakili semuanya. Akhirnya kami putuskan untuk muncak ke pegunungan
tertinggi di jawa. Sebelum hari keberangkatan kami pastikan semua barang
persediaan sudah sempurna. Mulai dari selimut hingga makanan pokok sebagai
bekal perjalanan. Kami tidak seperti pendaki expret yang membawa tas ransel
berisi tenda. Tas kami bisa dilihat hanya berisikan mie instan dan kudapan
ringan. Iya itulah kami yang selalu mencari mushola atau masjid sebagai tempat
yang meneduhkan. Salah satu langkah untuk liburan murah.
Perjalan panjang kami diawali dengan keluar dari kota istimewa
menuju kota tembakau dengan melewati magelang dan sekitarnya. Menggunakan
sepeda motor dengan saling berboncengan menjadi transportasi andalan. Awal
tujuan kami hanya ingin melihat lampion di malam hari kemudian pergi di pagi
hari. Tapi sekali lagi realita tak seindah rencana. Gerimis menyapa kami dari
pintu keluar jogja hingga memasuki pinggiran magelang. Tapi itu masih dapat kami halau dengan jas
hujan. Sudah hampir seperempat perjalanan dan bahan bakar mulai berkurang. Kami
putuskan berhenti disalah satu SPBU yang terdapat fasilitas mushola. “ Lumayan
lha ya bisa meluruskan kaki. Sambil nunggu hujan reda” tutur sari wanita paling
berisi diantara kami. “ Masih lama nggak sih.. aku udah pegel banget nih.
Pingin balik aja sumpah ngga kuat aku tuh” lagi – lagi Ria mengeluh, hanya
dialah satu – satunya yang terlihat lemah diantara yang lain mulai dari kondisi
fisik hingga mentalnya. “ Sabar Ri, 3 jam lagi kita akan sampai dan terbayar
dengan indahnya pemandangan” setidaknya dengan ucapanku memberikan ketenangan
padanya.
Perjalanan kami lanjutkan dengan bertukar posisi. Yang sedari tadi
menjadi joki kini berganti. Aku bergantian dengan Erina yang nampak keletihan
setelah menerjang hujan. Kami saling beruntutan disepanjang jalan dengan
dipimpin Rima sebagai penunjuk jalan. Kali ini medan yang kami lalui memang tak
berkelak – kelok melainkan jalanan landai dengan jurang di sebrang jalan. Jika
terjatuh maka tak terlihat wujudnya. Konsentrasiku buyar saat merasakan ada
yang mengganjal di ban belakang. Benar saja sejauh satu meter ban belakang
motorku geal – geol kehilangan kendali dan hanya nampak sebuah paku yang
tersangkut di ban ku. Aku berhenti dan meneriaki semua kawananku. “ Woy.. Ban
ku kempes. Stop... Stop.” Dua motor berhenti di depanku dengan satu motor yang
masih melaju dan berhenti mendadak dua meter dari kami. Maklumlah motor sari
sudah rada abnormal seperti orangnya, remnya lemot seperti otaknya.. heheh..
candaku dalam hati. Kami memutuskan untuk membagi tugas. Safa dan Ria kedapatan
mencari bengkel motor yang masih buka, Rima dan Tia bertugas membeli kudapan
dan bekal untuk malam hari, aku dan Erina bertugas mendorong motor yang kami
tumpangi menuju begkel yang letaknya 100 m darisini sedangkan Sari hanya bisa memandangi sembari
membantu doa saja. Karena hanya dialah satu – satunya yang mengendarai motor
sendiri. Selain jumlah orang yang ganjil sebenarnya memang motornya tak layak
untuk berboncengan.
Selesai motorku ditambal kami memutuskan istirahat sejenak
dipelataran masjid sembari melaksanakan sholat asar. Bekal yang kami bawa
sebenarnya masih ada dan bisalah untuk sekadar mengganjal lapar. Tapi sayangnya
seplastik berisi kudapan dijaga oleh putri jahat tapi jelita. Iya dialah Tia.
Satu – satunya anggota yang berbeda
kampus dengan kami. Setelah dirasa semua sudah siap, kami melanjutkan
perjalanan yang masih 2 jam lagi. Kami memperkirakan akan sampai di Dieng pukul
18.00 wib jika selama perjalanan mulus dan terkondisi. Disepanjang perjalanan
kami disuguhkan hamparan pegunungan dengan aliran sungai yang jernih.
Setidaknya itu mampu menjadi dorongan untuk segera sampai ditempat tujuan. Azan
magrib sudah berkumandang dan tak baik jika kami melanjutkan perjalanan yang
tinggal selangkah lagi. Kami berhenti disalah satu masjid agung di daerah ini.
Kami tunaikan shalat magrib dilanjut dengan menjamak shalat isya. Takut – takut
kalau nanti tidak menjumpai mushola.
Akhirnya kami sampai di gerbang lautan manusia. Berjajar dengan
kacau setiap kendaraan dengan bisingan suara klakson yang saling bersautan. Ditambah
hawa dingin yang menyapa. Aku menghela
nafas seketika melihat keadaaan ini. Memang benar realita tak seindah rencana.
Jika kami masih bertahan di sini maka festival lampion akan terlewatkan. Tetapi
kami sudah terjebak di sini. Maju kena mundur kena, mungkin kata – kata itu
yang dapat aku ibaratkan. Ditambah menghilangnya sari dari kerumunan kami.
Sudah sinyal langka ditambah kondisi motornya abnormal mengakibatkan kami
dirundung gelisah. Hingga Tia dan Erina memutuskan untuk menelusuri lautan manusia
dan berharap sari dapat dijumpai. Kami memutuskan berhenti dan menunggu mereka
dibawah tower agar mudah memantau gerak – gerik mereka. Benar saja apa yang
kami pikirkan akhirnya terjadi. Motor sari kehabisan bahan bakar ditambah
dengan signal dan uang yang hilang. Bersyukurlah kami masih dapat berkerumun
kembali. Jam sudah menunjukkan pukul Sembilan, itu artinya satu jam lagi
lampion akan diterbangkan. Dan benar – benar kami pasrah terjebak di lautan
nyawa padahal tiket sudah di tangan. Akhirnya kami harus ikhlas melihat ratusan
lampion yang berterbangan menghiasi malam. Dengan saling berpegangan kami
saling memandangi satu sama lain.
“ Ahh… Huwaaa.. Duit 100 ku ilang rak guna”. Medhoknya Ria akhinya
muncul juga. Satu per satu tangis kami pecah menghiasi malam, sembari menatapi
lampion yang semakin meninggi. Akhirnya kami merenungi acara liburan kali ini
yang serba medadak dan tanpa restu dari ibu Eriana. Sontak kami tersadarkan
bahwa restu orang tualah yang utama. Rima memutuskan untuk mengajak kami mencari
penginapan. Namun setelah kami cari – cari tidak ada yang sesuai kantong . Kami
putuskan untuk menginap di Masjid yang tak jauh dari lereng si kunir. Sebagai
obat gagalnya melihat festival kami putuskan untuk mendaki lereng si kunir yang
tak jauh dari masjid yang kami tinggali. Semakin malam hawa dingin semakin
setia menyelimuti. Padahal sudah berlapis – lapis kain melumuri tubuh ini. Kami
mencoba memejamkan mata dan berharap hari esok membawa bahagia.
Tepat pukul empat
setelah shalat subuh kami putuskan mendaki lereng si kunir. Mengendarai motor
menuju pakiran terdekat lereng menjadi salah satu pilihan agar tak menguras
banyak tenaga. Jalanan terjal dengan bebatuan keras siap menghadang. Kami
saling membantu dan bergantian satu persatu untuk menuju lereng. Kendaraan
sudah kami titipkan, kini tinggal melangkah menuju puncak. Sebungkus tumis
kentang yang masih panas menjadi santapan pagi sebelum mendaki. Puncak ini
memang belum seberapa dibandingkan dengan dua gunung yang sudah aku lalaui
sebelumnya. Namun hawa dinginnyalah yang melebihi pendakian sebelumnya. Hampir
berkali – kali kami harus berhenti menunggu salah seorang diantara kami yang
sejenak beristirahat entah untuk minum atapun sekadar mengambil nafas. Akhirnya
setelah 1 jam mendaki dengan medan yang tidak terjal kami berhasil mencapai
puncak tertinggi. Namun lagi – lagi realita tak seindah rencana. Setelah kami
sampai hanya dapat memandangi hamparan kabut yang menyelimuti gunung maupun
tebing. Entah mengapa untuk kedua kalinya kami benar – benar kecewa. Bukan
hamparan gunung dan hijaunya ladang yang kami dapatkan, namun kabut tebal yang
enggan menghilang dari pandangan. Tak
lama kami dipuncak hanya bersua foto dibalik kabut dan untuk kedua kalinya kami
harus kecewa.
Hampir tak ada
raut gembira diwajah kami. Hanya sari seorang diri yang merasa menikmati
perjalanan kali ini. Drett.. drett…kring.. kring dering telfon datang dari handphone sari yang
baru saja terdeteksi signal. Raut mukanya sontak berubah seketika setelah
menerima telfon dari orang yang dianggap atasannya. “ Waduh gawat kita harus
segera balik ke jogja sekarang. Ada agenda mendadak di kampus. Pak menteri
Agama berkunjung dan kita harus menghadiri stadium generalnya” kami diam
kebingungan mencari jalan pulang yang mampu membawa sampai di jogja dengan
singkat. Padahal kemacetan masih menyelimuti kawasan Dieng. Signal yang susah
didapat membuat kami hanya bergantung pada plang jalan saja. “ Tenang sebentar
dong. Aku mau tanya warga sekitar dulu. Ada jalan tikus ngga ke jogja biar kita
ngga kejebak macet”. Lamanya dialog antara Rima dengan bapak penjaga wisata
menghasilkan dua pilihan. Yang pertama kalau kami masih mengikuti jalan raya
ini maka akan terjebak macet dan dipastikan gagal bertemu dengan pak menteri. Dan jalan
kedua ini sedikit ekstrim. Kami harus menuruni lereng dengan jalanan setapak
yang jaraknya hanya 1 km. Tapi itu dapat dipastikan kita bisa sampai di jogga
sebelum asar. Akhirnya dengan bismillah kami siap menghadapi risiko yang ada.
Turunan landai
dengan jurang dikanan kiri menjadi medan
yang harus kami santap selama perjalanan. Mulai dari bebatuan yang terjal
hingga tanah licin dengan semak belukar harus kami lalui. Dan kami tersadar
telah berada ditengah – tengah hutan terlarang. Saat itu aku teringat akan
cerita bu surti tentah kisah pilu putri bungsunya. Aku sendiri baru menyadari
bahwa disekeliling kami hampir sama dengan perkataan bu surti. Nampak pohon
besar di kanan kiri jalan dengan bebatuan besar dibawah jurang. Oh sungguh tuhan
berikan kami keselamatan agar mampu bertemu dengan bapak ibu dan memohon ampun.
Harapan itu aku panjatkan demi keselamatan ini. Ke enam kawanku juga sadar kalau
ini bukan jalan untuk pemotor tapi hanya jalan pejalan kaki. Kami butuh tenaga extra untuk mengendalikan
laju motor yang kami tumpangi. Keseimbangan dan kekuatan rem menjadi modal agar
sampai di jalan raya. Beruntung sebelum kami berekspedisi semua motor sudah
terisi bahan bakar.
Sudah hampir satu setengah
jam kami bergulat dengan jalanan ini tapi tak kunjung melihat tanda – tanda
kehidupan. “ Ibu.. Erin mau pulang.. huaaa.. hua.. aku capek. Aku capek..”
keluhan itu datang dari erina yang paling manja diantara kami. Dia hanya duduk
tertunduk lesu tak mau melanjutkan perjalanan ini. “ Ayo semangat er, bentar
lagi kita sampai.” Bujuk rayuan Rima mulai keluar. Akhirnya mereka kami tinggal
sebentar agar motor – motor ini cepat sampai ke bawah. Perjalanan awal yang
dijanjikan hanya 1 km kami rasa ini perjalanan 10 km. benar – benar sukar.
Hampir selama perjalanan tak kami temukan penduduk desa di dalamnya. Kami butuh mereka karena bekal
air minum telah habis. Tak jauh dari tempat kami istirahat sembari menunggu
Erina dan Rima yang berjalan kami meluruskan kaki. Dan suara motor triel
terdengar mendekati arah kami dan semakin jelas. Benar saja nampak seorang
bapak mengendarai motor trielnya dengan dua gadis yang diboncenginya. Keduanya
tak lain dan tak bukan adalah rima dan erina. Erina nampak pucat wajahnya dan
rima menjelaskan kalau erina sempat pingsan dan untung ada seseorang yang lewat
dan mau membantu kami untuk keluar dari hutan ini.
“Bapak sungguh tak menyangka kalian mampu melewati hutan larangan
ini. Baru kali ini adas sekawanan gadis dengan motor matic lagi.
Biasanya hanya orang pemberanilah yang mampu melewati hutan ini. Jika tak kuat
biasanya akan tersesat dan tidak bisa kembali lagi. Bapak salut sama kalian.”
Penjelasan panjang kali lebar drai bapak itu membuat kami bersyukur kepada
tuhan akan keselamatan yang telah diberikan. “ Mari nak, mampir dulu di rumah
bapak sembari bersih diri dan sholat asar” tawaran bapak itu tak mungkin kami
tolak. Kami memutuskan untuk mampir sejenak di rumah bapak itu sembari mengisi
perut dan bersih diri. Cerita akan hutan larangan itu dilanjutkan kembali oleh
bapak dan istrinya sebelum kami bergegas pergi.
Akhirnya setelah perut terisi kami berpamitan pulang menuju kota
jogja. Perjalanan pulang tak jauh berbeda dengan perjalanan awal. Bahkan dua
motor dari kerumunan kami mengalami pecah ban hingga berkali – kali. Tapi kami
masih bersyukur Tuhan masih memberikan keselamatan hingga sampai di kota
istimewa.
Yogyakarta, 02 November 2018